Pagi
hari di Cirebon, kami masih punya waktu sampai pukul 10.00 untuk jalan-jalan.
Berhubung anak-anak masih ingin santai di hotel, cuma saya, suami dan si bungsu
yang berniat jalan pagi.
Menjadi kebiasaan suami untuk
mendatangi public area di tempat baru. Di sanalah napas kebudayaan
sebuah pemukiman. Tidak ada yang menemani pun beliau akan jalan sendiri.
“Pagi hari di tempat baru sangat
istimewa,” katanya suatu kali saya malas menemani. Soalnya sudah biasa menghadapi yang begini. Hahaha.
“Belum tentu pagi sama akan kita temui
bahkan di detik yang tepat, lokasi yang persis,” begitu rayunya kalau saya
malas jalan. Jadi tidak ada alasan untuk
tidak beranjak. Lagipula selalu ada manfaat di setiap peristiwa yang dijumpai.
Kami pun menyusuri jalan ke stasiun, tempat sama kami sambangi sore sebelumnya. Suasana pagi memang sangat dinamis. Banyak orang bergegas dan bersiap mencari rezeki, menjalankan fitrah-Nya dengan bertebaran di muka bumi dan berusaha menjalani hidup. Coba kalau semua manusia malas, tidak ada yang mau bekerja keras memasak untuk menyediakan sarapan, misalnya. Wuih, mau makan apa manusia nanti? Beras mentah? Atau malah padi?
Kami pun menyusuri jalan ke stasiun, tempat sama kami sambangi sore sebelumnya. Suasana pagi memang sangat dinamis. Banyak orang bergegas dan bersiap mencari rezeki, menjalankan fitrah-Nya dengan bertebaran di muka bumi dan berusaha menjalani hidup. Coba kalau semua manusia malas, tidak ada yang mau bekerja keras memasak untuk menyediakan sarapan, misalnya. Wuih, mau makan apa manusia nanti? Beras mentah? Atau malah padi?
Saat hendak masuk hotel, saya tertarik
dengan pedagang serabi di seberang hotel. Suami menyilakan saya dan si bungsu
untuk membeli serabi sebiji dua.
“Jualan apa, bu?” Azka mulai ingin tahu.
Ia langsung jongkok di depan tungku si ibu penjual. “Hangat, Mamah…” tangannya
dijulurkan di atas barisan tungku.
“Serabi,” jawab si ibu lirih sambil
terus mengaduk adonan. Dengan hati dituangkannya adonan di atas wajan kecil
terbuat dari tanah liat. Api dalam tungku di bawah wajan membuat permukaan adonan
meletup-letup kecil.
“Itu apa?” Azka menunjuk sesendok adonan
warna coklat berkuah minyak yang diletakkan si ibu di atas serabi setengah
matang tadi.
“Ini oncom, buat atasnya,” jawab si ibu
dengan sabar. Tangan keriputnya mengipasi tungku. Asap yang menyerbu wajahnya
tidak dihiraukan. Azka agak mundur menghindari letikan bara yang terbang dan
hilang tergerus udara.
“Aku tahunya serabi yang diatasnya
dikasih coklat atau nangka, kayak di Solo,” Azka menepis setitik bara yang
terbang.
“Awas, Neng. Hati-hati,” ibu itu
membuka wajan kosong dan menuang adonan dasar. Ditutupnya wajan sebentar, lalu
memeriksa wajan lain berisi adonan yang hampir masak. Ada dua orang pembeli
yang sudah mengantri lebih dulu. Kami tahu diri untuk menunggu, lumayan sambil
melatih Azka mewawancara.
“Kalau ini serabinya dikasih oncom,
sama ada yang pakai telur, orek tempe dan gula merah,” si ibu mengambil sebutir
telur ayam ukuran kecil. Diketuknya telur ke tepi wajan lalu dengan cepat di
pecahkan tepat di atas adonan setengah matang. Wah, bentuk serabinya jadi
indah! Sebentar kemudian wajan itu ditutup.
“Itu dikasih gula merah, kan? Aku mau
yang itu,” Azka menunjuk serabi bertitik-titik merah yang baru diangkat.
“Boleh, tapi itu sudah dipesan
orang. Jadi tunggu, ya!” saya mulai melihat si bungsu tidak sabar. “Mau beli
yang rasa apa?”
“Gula merah, satu saja. Beliin buat
Aa-aa, Mah.”
“Serabi gula merah tiga, Bu.”
Si ibu mengangguk sambil membungkus
serabi yang telah siap untuk pembeli yang telah menunggu. Kemudian dengan sigap
dibersihkannya wajan-wajan dari sisa-sisa serabi. Setelah dipanaskan di atas
tungku, adonan kembali dituang. Begitu hikmat dan serius.
“Ibu sudah lama berjualan serabi?” saya duduk berjongkok.
“Sudah tujuh belas tahun,” jawab si
ibu.
“Wah, lama banget, Mah! Seumuran
Aa..” potong Azka serius. Saya mengangguk. “Ibu, ibu namanya siapa?”
“Ibu namanya bu Nasriyah,” bu
Nasriyah ini mungkin suaranya lirih dari sananya, jadi harus saksama
mendengarkan jawabannya.
“Serabi telornya dijual berapa, Bu?
Yang gula merah berapa, yang oncom berapa..” si bungsu tampaknya sudah tidak
sabar. Cuaca mulai gerah. Pesanan kami siap dibungkus.
“Yang telor tujuh ribu lima ratus,
oncom tiga ribu, gula merah duaribu lima ratus.”
“Bu Nasriyah bikin serabi ini pakai campuran
tepung terigu, atau cuma tepung beras?” saya masih ingin tahu.
“Nggak pakai campuran, semua asli
tepung beras, santan, sama parutan kelapa halus,” jawabnya tegas, masih dengan
suara lirih.
Kami pamit setelah membayar dengan
lebih sedikit. Anggap saja untuk pengganti waktunya diganggu pertanyaan kami. Kebetulan
suami sudah datang dari kegiatan potret-memotret sementara kami beli serabi.
Pukul 10.30 kami berencana meneruskan
perjalanan. Tapi di kamar, saya masygul. Duduk di tepi ranjang sambil menatap barang-barang
masih berantakan. Anak-anak masih malas-malasan sambil pegang ponsel. Televisi menayangkan
berita tanpa ada yang menonton.
“Sabar, Mah,” suami berbisik dan merangkul
saya. “Masih adaptasi. Mereka masih melihat betapa jauh perjalanan nanti. Kita santai
aja, ya? Mamah juga harus santai, perjalanan juga baru dimulai. Jangan membebani dengan
aturan-aturan berat dan kurang perlu. Soal berantakan barang, ya nanti packing
lagi. Kecuali buat sholat, harus tegas.”
Saya menarik napas dan berusaha
tenang. Mungkin cara saya yang harus diubah. Pendekatan persuasif adalah
tindakan yang cocok untuk traveling panjang begini. Baiklah. Standar kesempurnaan
harus diturunkan ke level santai, tapi level perasaan bahagia harus meningkat.
Perjalanan baru dimulai, kalau
melihat jarak, baru menginjak 2/37. Sanggupkah anak-anak melakoninya?
Sanggupkah saya? Kalau suami sih seneng-seneng saja, sudah sekian kali
melakukan perjalanan literasi. Bahkan yang lebih lama dari rencana ini. Tapi
buat kami, kalau lelah bagaimana?
“Kalau kalian capek, ya nggak
apa-apa pulang ke Serang. Tapi Papah akan meneruskan rencana ini,” suami menganggukkan
kepala meyakinkan saya. Saya menggeleng.
Bagaimana saya bisa tega
membiarkannya menyelesaikan pekerjaan besar sendirian? (Bersambung)
Assalamualaikum..keren banget tulisannya mbak tias, salam Kenal ya dari detty Di jambi,pengen bisa nulis seperti Mbak tias, asyik bahasanya,ini contoh riset dengan wawancara sebelum dituangkan ke tulisan jadi nyata dan kuat.Terimakasih mbak tias sehat dan ceria selalu, be always happy mom
BalasHapus