Alhamdulillah
jalur ke timur lancar jaya. Mungkin karena sudah mulai arus balik lebaran,
lebih banyak kendaraan menuju ke barat.
Dibanding saya, suami lebih bisa
mencairkan suasana di perjalanan. Baru keluar dari Jakarta, saaya sudah
uring-uringan menghadapi Odie dan Azka yang bertengkar melulu. Wajar sih,
gara-gara tempat sempit. Tapi heran juga, biasanya saya bisa sabar menghadapi
anak-anak, tapi kenapa mendadak ingin marah.
Curiga sedang PMS (pre menstruation
syndrome), saya beritahu suami. Dia paham kondisi saya. Itulah kenapa sepanjang
perjalanan hari itu ia berperan lebih banyak, sebagai sopir, pendongeng,
penghibur dan penyulut semangat. Sedangkan saya jadi tim hore buatnya, sambil
meringkuk di antara barang bawaan yang belum ditata ulang.
“Kita akan menginap di mana?
Cirebon, oke?” tawar suami. “A Gab, coba lihat ada hotel apa yang enak, nyaman,
bersih, murah, dekat alun-alun atau pusat kota.”
“Yang ada kolam renangnya!” sahut
Azka.
“Yang ada wi-fi gratis!” timpal
Odie.
“Oke… Cari, Aa Gab!” suami menatap
saya, “Mamah pengin apa?”
“Kalau Mamah mah asal ada air panas
dan dingin. Trus ada pemanas airnya, disediakan teh, gula, kopi. Kamarnya yang
luas, bed-nya banyak…” jawab saya sambil tertawa. Rasanya mustahil ada untuk
hotel yang murah di pusat kota.
Memasuki Cirebon, Gabriel menemukan
sebuah hotel dan mulai mengarahkan ayahnya melalui google maps. Kami sibuk
melihat sekeliling, tampak banyak sekali tempat menawarkan empal gentong. Jadi
kami mengincar salah satu kuliner khas Cirebon ini.
“Ini ada stasiun, kita menginap
dekat sini aja, ya!” tiba-tiba suami memutuskan dengan gembira. Ah, dia memang
selalu merasa gembira saat di perjalanan. Hahaha.
“Masih lurus lagi, Pah,” kata A Gab
ketika ayahnya memutuskan membelokkan mobil ke sebuah hotel.
“Ini aja, dekat stasiun, pasti dekat
dengan pusat jajanan. Kalian bisa lihat dan belajar banyak hal nanti!” Suami
memarkir mobil di halaman hotel.
“Ada hantunya nggak, Pah?” Azka
menatap bangunan hotel. “Takut, ih!”
“Nggak ada hantu, ini memang hotel
sederhana, jadi bangunannya juga nggak mewah,” saya mencoba membesarkan hati si
bungsu.
“Nggak ada kolam renangnya lho,
Dek!” Odie mulai mengggoda adiknya.
“Papah! Nggak ada kolam renang,
nggak mau di sini!” Azka mulai terpancing ngambek. Ia merasa kami tidak
menepati janji.
“Sementara di sini dulu, besok-besok
kalau bisa kita cari hotel yang ada kolam renangnya. Sekarang nikmati saja!”
Suami mulai kesal juga. Mungkin karena lelah menyetir.
Saya merangkul si bungsu, dan memberi
kode ke suami supaya jangan membahas lagi. Kalau sedang ngambek, si bungsu akan
jadi keras kepala.
“Mamah turun dulu, pesan kamar. Cari
yang family. Papah siap-siap nurunin barang!” kata suami dengan tegas. Tidak
ada gunanya berdebat kalau sedang begini. Meskipun saya lebih suka menginap
dekat alun-alun, tapi kalau suami sudah memutuskan di situ ya ikut saja.
Saya berjalan ke lobby. Gabriel
menyusul. Kami memilih kamar sesuai harga yang kami mampu. Termasuk melihat
langsung kondisi kamar. Akhirnya kami cocok dengan family room, sewanya Rp
310.000,-/malam.
Berasa di rumah... |
Alhamdulillah semua suka karena kamarnya
lega, viewnya langsung ke jalan besar di depan hotel. Ada dua tempat tidur,
satu ukuran besar, satunya ukuran kecil. Cukuplah buat kami. Yang tidak
kebagian nanti bisa tidur beralas sleeping bag. (Bersambung)
Huaaah...jadi pengen Travelling barengan pasangan.
BalasHapusaamiin... aamiin... semoga segera terwujud, ya Allah... :*
HapusAamiin...
BalasHapus