Pagi hari, Jumat, 30 Juni 2017.
Bertempat di pendopo dalam Rumah Dunia, kami sarapan bersama. Menunya nasi uduk
dan lauk goreng. Sehari sebelumnya Odie sudah memesan 25 bungkus nasi uduk di
warrung Bi Sariyah, langganan kami.
“Biasanya Mamah yang pesan-pesan
begini,” cetus Odie saat saya minta tolong memesan nasi. “Jadi kalau ada yang
habis atau nggak ada, bisa ganti beli yang lain.”
Saya tersenyum, mengerti maksud anak
ketiga kami itu. “Iya, A. Tapi sekarang Mamah lagi sibuk-sibuknya packing.
Jadi, apa pun yang Aa bisa pesan untuk besok, silakan. Terserah Aa yang
memutuskan, kalau nggak ada ini ya pesan itu.”
Jadi introspeksi buat saya,
barangkali bagi orang lain saya tampak perfeksionis. Meski saya sendiri tidak
merasa begitu, tapi keraguan Odie melakukan permintaan saya telah membuat saya
seperti diperingatkan.
Astaghfirullah. Harus banyak
istighfar, mungkin selama ini tanpa sadar saya sudah menuntut terlalu banyak
dari anak-anak. Teringat saat saya memberi tugas dan mereka keberatan, saya
akan keukeuh tidak beranjak sampai mereka bersedia menjalankannya.
Insyaa Allah sekarang saya hanya
menerapkan sikap keukeuh itu untuk urusan sholat dan mengaji, dua hal yang
menurut saya maha penting bagi kehidupan anak-anak. Urusan lain, saya masih
bisa menerima negosiasi.
***
Menuliskan bagian ini sebenarnya
amat sulit bagi saya. Air mata mudah menetes mengingat begitu banyak kebaikan
teman-teman dan keluarga yang datang mendoakan, mengantar keberangkatan kami,
bersedia diamanahi untuk menjaga rumah dan tak keberatan tetap melanjutkan
kegiatan Rumah Dunia.
Semua bisa terjadi. Bisa saja pagi
itu menjadi pertemuan terakhir kami. Maka kami berpamitan dan memohon maaf atas
semua kesalahan, mohon didoakan agar sehat selamat sampai pulang kembali ke
rumah.
Doa yang dipanjatkan emak mertua
seperti menyuruh saya mengingat tujuan sebenarnya dari traveling ini. Saatnya meluruskan niat, membuang ketidakikhlasan dan
merendahkan diri di hadapan-Nya.
Weeew… Sepertinya ribet banget hidup
saya ya, segala sesuatu dikembalikan pada-Nya. Semacam ada ketergantungan
absurd, ketakutan khayali dan ketidakbebasan karena terikat menjalankan ritual
ibadah.
Tapi, saya membutuhkan itu semua
untuk menjaga keseimbangan hidup dan hari-hari saya. Lupa saja sesaat, saya
merasa galau. Misal melewatkan sholat karena terbentur kesibukan, rasanya saya
sudah mengingkari janji yang berujung kematian. Duh, takut dan menyesal bukan
main.
Bandingkan dengan saat saya menunaikan
semua kewajiban, hidup terasa amat tenang. Mungkin saya berhak merajuk saat
berdoa minta ini-itu. Kalau ibadah lewat, saya malu mau minta sesuatu.
Jangankan minta rezeki banyak supaya bisa ganti laptop, ingatnya malah minta
besok pagi masih hidup aja, biar bisa mengganti kewajiban terlewat.
Pokoknya begitulah, saya menerima segala
urusan ribet itu kalau berurusan dengan-Nya. Hahaha. Ini pula yang selalu saya
bawa-bawa ke rumah. Menanamkan ke anak-anak tentang kebutuhan dekat pada-Nya,
bahwa makin mendekat kita, Dia jauh lebih dekat. Urat leher saja kalah
dekatnya. Pusing kalau dipikirkan, maka saya meminta anak-anak merasakan saja
efeknya.
Begitulah. Dengan doa teman-teman, emak
mertua dan ibu saya di Solo sana, kami memulai perjalanan. Sebisa mungkin saya
menahan air mata, berusaha meyakinkan diri sendiri kami akan pulang kembali.
Pukul sembilan pagi kami berangkat.
Daaan…ternyata barang bawaan banyak banget! Maklumi saja, sepertiganya adalah
dagangan buku. Hehehe. Saya menyabarkan si bungsu yang mengeluh karena
harapannya sirna. Semula ia meminta jok belakang bisa dikuasainya untuk tidur.
Saya dan Odie di jok tengah. Di depan adalah suami dengan Gabriel sebagai
navigator dengan google maps di tangan.
“Maaf ya, Dedek. Sabar ya, sementara
begini dulu, nanti kita atur lagi di jalan,” suami saya melirik lewat spion
atas. Saya memeluk si bungsu yang masih cemberut.
Diiringi lambaian keluarga dan teman,
dan dikawal dua motor anggota Motor Literasi, kami bergerak menuju pintu tol
Serang Timur. (Bersambung)
Huaaah...ikut terharu. Selalu begitu kalau mengawali dan mengakhiri perjalanan Yo Mba. Ada yang terasakan di hati. Biasalah.. perempuan..hihihi
BalasHapusTAk kuasa aku menuliskan semuanya... mbrebes mili terus... ^_^
Hapus