Minggu, 24 September 2017

Generasi Jaguar (3) Langkah Awal Selalu Mengejutkan

             Pagi hari, Jumat, 30 Juni 2017. Bertempat di pendopo dalam Rumah Dunia, kami sarapan bersama. Menunya nasi uduk dan lauk goreng. Sehari sebelumnya Odie sudah memesan 25 bungkus nasi uduk di warrung Bi Sariyah, langganan kami.
            “Biasanya Mamah yang pesan-pesan begini,” cetus Odie saat saya minta tolong memesan nasi. “Jadi kalau ada yang habis atau nggak ada, bisa ganti beli yang lain.”
            Saya tersenyum, mengerti maksud anak ketiga kami itu. “Iya, A. Tapi sekarang Mamah lagi sibuk-sibuknya packing. Jadi, apa pun yang Aa bisa pesan untuk besok, silakan. Terserah Aa yang memutuskan, kalau nggak ada ini ya pesan itu.”
            Jadi introspeksi buat saya, barangkali bagi orang lain saya tampak perfeksionis. Meski saya sendiri tidak merasa begitu, tapi keraguan Odie melakukan permintaan saya telah membuat saya seperti diperingatkan.
            Astaghfirullah. Harus banyak istighfar, mungkin selama ini tanpa sadar saya sudah menuntut terlalu banyak dari anak-anak. Teringat saat saya memberi tugas dan mereka keberatan, saya akan keukeuh tidak beranjak sampai mereka bersedia menjalankannya.

Sabtu, 23 September 2017

Generasi Jaguar (2) Rute Angka Delapan

         Setelah berdiskusi dengan suami perihal deskripsi Generasi Jaguar, gantian saya presentasi di depan anak-anak. Termasuk memotivasi mereka untuk tampil bersama kami. Meski hasilnya tidak mengubah sikap anak-anak yang menolak tampil, saya tidak mempermasalahkan. Mereka harus tahu bahwa orang tuanya kompak, dan berniat mengajak kepada hal-hal baik dan maju.
            “Kalian punya potensi dan bakat. Sayang jika tidak dikembangkan dan diasah. Toh sepanjang perjalanan nanti kalian tampil di hadapan orang asing, yang kalian tidak kenal. Setelah tampil pun mungkin nggak ketemu lagi. Jadi tidak ada alasan untuk malu,” kompor saya berapi-api.
            Tapi anak-anak tetap pada pendiriannya. Semua memilih membantu di belakang layar. Baiklah, kami tak memaksa.
            Jadilah kami putuskan traveling selama 30 hari sekaligus pelatihan menulis di beberapa kota sepanjang Serang-Solo pulang-pergi. Anak-anak setuju dengan syarat berangkat setelah lebaran. Kami mulai berbagi tugas. Suami menyusun agenda, menghubungi teman-teman penggiat literasi dan kepenulisan, menawarkan pelatihan yang dibutuhkan komunitas mereka, menyiapkan buku-buku yang hendak dijual. Saya kebagian tugas menyiapkan mental anak-anak untuk bepergian bersama dalam waktu lama. Juga memotivasi mereka untuk melakukan apa saja yang mereka sanggup untuk kegiatan ini.

Jumat, 22 September 2017

Generasi Jaguar (1)

SEBUAH IHWAL

        Hal yang paling menakutkan adalah mendengar ide suami yang “nyleneh”. Jika idenya biasa saja saya juga akan menanggapi dengan biasa. Tapi kalau idenya tidak biasa dilakukan orang, itu yang membuat saya takut.
Sebenarnya ketakutan saya itu lebih pada menghadapi tantangan selama ide itu dijalankan dan pandangan masyarakat umum terhadap langkah kami. Beruntung suami sangat hati-hati memaparkan idenya, setahap demi setahap sehingga saya bisa berpikir jernih. Meski didera ketakutan yang tidak ketahuan juntrungannya, saya mencoba memikirkan semua aspek ide tersebut.
Seperti suatu sore di bulan Mei 2017. Sambil rebahan di lantai ruang tengah, suami berkata, “Kita mudik sekeluarga, yuk!”
Mudik bagi saya adalah peristiwa mewah mengingat jarak hampir setengah Pulau Jawa harus kami tempuh. Belum lagi biayanya, bagi kami yang bukan golongan bergaji tetap ini harus disiapkan jauh-jauh hari. Tapi ajakan suami amat menggoda. Anak-anak pun akan suka bertemu Eyang dan semua saudara di sana.
“Serius?” kejar saya menunggu jawaban.
“Iya, hayulah, sambil keliling Jawa, satu bulan. Sambil memberi pelatihan menulis dan jualan buku. Biayanya dari situ.”
Saya terdiam. Ini bukan hal aneh kami bepergian untuk mengisi sesi pelatihan menulis dan berdagang buku terbitan Gong Publishing. Tapi satu bulan, itu lama sekali.