Senin, 18 Juni 2012

9: Di Haadyai Hatiku Meleleh

Dalam kereta sleepers.
Setelah melewati malam penuh ketegangan dan cemas di dalam sleepers, kami sampai juga di Haadyai, perbatasan Malaysia-Bangkok. Begitu sampai stasiun, backpack kami simpan di locker, pesan tiket kereta malam ke Bangkok dan mencari hotel untuk setengah hari. Sambil menunggu jadwal kereta, kami keliling kota. Sungguh rencana yang rapi.


Ambruk

Tapi Allah berkehendak lain. Hubby ambruk di Haadyai, jadi kami bermalam di hotel dekat stasiun. Perjalanan semalaman di kereta sleepers (dengan kursi berupa dipan-dipan disekat gorden) ternyata dilaluinya dengan diare.

Ternyata, hubby nggak kuat nahan sakit perutnya. Salah makan di stasiun KL diduganya jadi tersangka utama penderitaannya. Dhuhur itu badannya mulai demam. Aku kompres dengan air biasa. Kamar hotel tak begitu luas dengan penempatan kipas angin di ujung kaki benar-benar menyiksa. Itulah kamar hotel yang sesuai dengan kantong kami. Akhirnya kami bermalam dengan pintu tertutup (ya iya dunk!) dan kipas angin off. 

Pengap jadi tak terasa berat karena berdekatan. Jiaaah.. Yang jelas aku luntang-lantung di sekitar stasiun, mencari bubur nasi buat hubby. Buah-buahan yang dibelinya tak bertahan lama di perut. Begitu masuk lambung, langsung keluar. Tubuhnya lemah. Demam meninggi. Aku nggak yakin di Haadyai ada dokter atau rumah sakit sebagus di Bangkok. Kubujuk hubby untuk bertahan sampai kami tiba di Bangkok. Dengan kereta? Tentu tidak. Dia sudah bilang kalau tak kuat naik kereta, semalaman pula.

Instruksi

Dari tempat tidur, instruksi tetap berjalan. Nakhodaku memang begitu, otaknya tetap berpikir. Merasa tak akan kuat berkereta ke Bangkok, ia minta naik pesawat terbang. Pengalaman semalam di sleepers bukanlah pilihan yang nyaman di saat genting begini. Sementara untuk naik pesawat ke Bangkok besok pagi, haruslah dikejar pesan tiket secepatnya.

Hubby minta aku mendengarnya sampai selesai. Emang sih, selama ini, aku banyak interupsi saat dia bicara panjang:( Maafkan aku:'( Tapi kadang-kadang interupsiku bermanfaat juga kan, beb:D

Tugasku yang harus kuemban adalah mengambil backpack di locker, membatalkan tiket kereta malam ke Bangkok dan syukur-syukur bisa refund. Hubby juga berpesan, jika tiket tidak bisa diuangkan, nggak masalah. Lalu aku booking tiket pesawat. Sebelumnya aku harus menukar uang dolar Amrik simpenan kami.

Meleleh

Baiklah. Mandat diterima. Hubby menatapku dengan pandangan yang susah dijelaskan. Pokoknya susah deh... Susah dilepaskan sih iya, artinya ingin memandang terus:)) hus. Dia cuma bilang, aku harus berani menghadapi apa pun yang terjadi. Aku sendiri nggak banyak bicara, selain mengulang instruksinya dan menatapnya yakin.

Sedihkah hatiku?
Nggak.
Nggak cuma itu maksudnya.
Sampai meleleh.
Tapi tak akan ada tangisan cengeng. Aku diminta berani, dan akan kutunjukkan hal itu. Saat seperti itu, kalau harus berantem pun kuhadapi. Soal kalah belakangan. Tapi semangat itu kujaga. Semangat menjadi berani.

Setelah turun dari lantai 7 dengan lift yang sempit, aku temui petugas front office hotel. Kutanyakan di mana travel agent terdekat. Ternyata ada kantor Thai Airways dekat situ. Akhirnya aku ke sana dan booking tiket. Booking saja, karena uang cash  THB (ThaiBath) kami tidak cukup untuk tiket THB 2945/pax. Aku butuh tukar uang di money changer. Allah benar-benar sayang sama kami. Tempat-tempat yang harus kudatangi untuk menjalankan misi hubby itu berdekatan. Yang jelas semua dekat stasiun. 

Aku menukar uang di money changer merangkap travel agent. Iseng kutanyakan tiket ke Bangkok. Sebenarnya ada yang lebih murah dari Thai, tapi menurut petugas itu maskapai lokal, Royal airlines. Waduh, aku jadi was-was kalau ada masalah dengan pelayanannya. Akhirnya aku putusin tetap ambil Thai airways.

Marah Tingkat Herkules

Lalu aku ke stasiun, ambil locker dan batalin tiket kereta. Sebelumnya mencegat taksi (semacam bajay dengan tempat duduk penumpang di belakang berhadapan. Sopirnya sudah tua, dengan tampang baik hati. Jarak yang dekat, tapi harga lumayan, 100 THB.  Harga itu sama seperti yang direkomendasikan hubby. Tak kusangka dia tepat mengira-ira. Atau sebenarnya aku yang nggak tega nawar? :D

Ternyata tiket kereta bisa dibatalkan, juga refund, tapi charge fee-nya lumayan, 50% dari dua tiket sleepers seharga THB1900. Ya sudah, rezekinya memang segitu. Alhamdulillah, bisa nambahin beli tiket pesawat. Aku keluar menemui sopir taksi yang sudah menunggu bersama seorang temannya.

Stasiun Haadyai 
Sopir taksi itu tanya, aku mau ke mana saja setelah diantar ke hotel. Aku bilang cuma sampai hotel, dan tarif itu lumayan besar. Tapi sopir itu angkat tangan, dia alihkan ke temannya saja. Aku bengong. Sebentar saja sih bengongnya, karena cuma nahan marah. Kesal banget! Mana si sopir taksi yang lebih muda itu mengedipkan mata agak genit. Aarrrggh! Pernahkah kalian sedemikian marah sehingga merasa bisa mengguncang pohon kelapa dan merontokkan buahnya? Aku pernah. Saat itu.

Aku menolak tawaran sopir taksi baru itu, meskipun dia membujuk dan merayu. Mungkin dia terlalu yakin   2 backpack isi 55 dan 35 liter plus daypack 30 liter butuh pertolongan. Tapi aku tetap menolak. Kusandang backpack 35 liter di punggung, daypack di depan, sambil menyeret backpack 55 liter yang untungnya tertutup rain cover, jadi aman diseret sepanjang jalan.

Banyak orang mengerutkan kening melihatku. Termasuk sebarisan ojek dan sopir taksi. Nyari perhatian? Sama sekali tidak. Buatku, jarak stasiun-hotel tidak terlalu jauh. Dan yang penting, sepanjang jalan aku bisa menguapkan marah dan kesalku pada dua orang sopir taksi itu.

Sampai di kamar, hubby menyambutku dengan senyum dan usapan kepala. Tapi dengan curiga dia tanya, aku naik apa. Kubilang aku jalan kaki. Dia menggelengkan kepala dan bilang seharusnya aku tidak memaksakan diri seperti itu. Aku cuma senyum. Jangan kira aku sedih dan menderita, beb. Aku senang bisa meringankan bebanmu:* 

Setelah itu aku ambil tiket di kantor Thai Airways, beli madu dan air mineral. Dan benarlah Allah menunjuk madu sebagai obat. Hubby minum berbotol-botol air mineral bercampur madu. Tiap kali makan, entah roti, bubur instan atau buah, diarenya kumat. Tapi dijalaninya proses itu, karena ia butuh tenaga. Dan aku butuh pundaknya.

Semalaman kami lewati dengan tidur, mengompres, minum madu, mengganti kaos hubby yang basah keringat, tak lupa dzikir. Aku selalu percaya, Allah memberi kenikmatan dalam ujian ini. Membuat kami semakin kuat. Menyadarkanku sekuat apa pun hatiku bisa meleleh. Tapi tak kutunjukkan lelehannya pada hubby, sebab hatiku harus kembali kuat. Perjalanan belum ada setengah...

(Tulisan ini ada di dalam buku The Traveler's Wife - Tias Tatanka, penerbit Salsabila, 2015)
(foto diambil dari tokopedia)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar