Selasa, 24 Desember 2013

Aku Melahirkan Ibu

Ini diary paska melahirkan anak pertama, enam belas tahun lalu. Masih fresh dalam draft bakal buku. Semoga manfaat. Selamat Hari Ibu;)
***
Hari-hari pertama setelah melahirkan adalah saat-saat sulit yang harus saya lalui. Dengan bertambahnya anggota keluarga, jadwal keseharian kami berubah dan beban pekerjaan ikut bertambah. Jam tidur menjadi berkurang, malam-malam saya harus bangun mengganti popok lalu menyusui sambil tiduran. Ini sesuai saran bidan, karena anak kami divacuum ketika lahir, maka tidak boleh terlalu sering diangkat dan digendong, agar tak ada gangguan ke kepalanya. Sementara itu kondisi tubuh saya belum kembali fit seperti semula, ditambah lagi munculnya keluhan tak nyaman di seluruh badan.
Membicarakan tubuh yang mulai berubah, membuat hati saya agak masygul juga. Ada ketakutan jika nanti suami kecewa dengan perubahan bentuk tubuh yang tambah menggelembung. Atau seperti mitos kondisi vagina yang berubah karena melahirkan, yang nantinya akan mempengaruhi kualitas hubungan seksual dengan suami. Belum lagi sakit dan nyeri pada bekas jahitan karena otot-otot yang mulai mengkerut, serta wasir yang tiba-tiba muncul.
Tapi untunglah, kami telah mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pasca kelahiran. Termasuk berapa lama suami ‘cuti’ menjalankan kewajibannya memberi nafkah batin. Kami sepakat mengambil rentang waktu tiga bulan sejak melahirkan untuk puasa melakukan hubungan suami istri. Alhamdulillah, Aa tidak keberatan. Ini mungkin dampak positif karena ia menemani saya melahirkan, seperti ikut merasakan sakitnya mulas rahim menjelang kelahiran.
Subhanallah, ia pun tak masalah dengan perubahan tubuh saya, dan menganggap hal yang wajar bagi wanita yang telah melahirkan. Bahkan teramat banyak dukungan yang diberikan pada saya, yang sempat mengalami ‘baby blues’, sindrom psikis ibu-ibu pasca melahirkan yang ditandai dengan perasaan sedih, murung dan emosional. Tapi suami saya terus menyemangati dengan mengingatkan betapa Allah telah memberi anugerah terindah pada kami, seorang bayi perempuan yang sehat dan cantik.
Padahal tidak mudah melewati ‘baby blues’, sebuah kondisi yang membuat emosi labil, bahkan buat saya seperti telah kehilangan sesuatu yang sulit diungkapkan. Hari-hari saya lalui dengan perasaan tidak menentu, sering marah, menyesali diri sendiri, dan ketidakyakinan menjadi ibu.

Jumat, 13 Desember 2013

Satu Janji Tunai (6-habis)

Wah, ini postingan kapan selesai, ya! Hehehe... Baiklah, mari ditulis postingan bagian akhir dari family traveling kami.
Setelah kembali ke hotel, aku packing dengan teliti. Backpack suami diisi baju kotor, backpack punyaku baju bersih dan pernak-pernik emergency. Sementara Odie-Kaka dengan barang pribadi mereka.

Sebenarnya stok bajuku cuma 2, baju tidur dan kemeja ganti, plus underwear. Anak-anak 3 stel, sementara suami yang banyak bawa kaos, karena gampang berkeringat.

Jika bepergian, aku terbiasa bawa bekal baju yang praktis. Bahkan 1 baju bersih masih tersisa hingga pulang, karena aku masih bisa pakai atasan baju tidur berupa kaos lengan panjang.
Kamar hotel berpendingin udara, membuat tak banyak keringat, otomatis baju tak begitu bau. Suamiku heran, aku yang di rumah rajin ganti baju, ini masih betah dengan baju semalam. Masih wangi, alasanku. Hehehe.

Setelah sholat Dhuhur yang dijama' dengan Ashar, kami check out. Salah satu tujuan kami: Serangoon Road. Kali ini aku keukeuh, mau ke sana. Ini permintaanku, yang biasanya gampang kompromi. Kali ini keras kepala, pokoknya harus ke sana.

Kaka si bungsu, yang sudah membayangkan jauhnya perjalanan, bersemangat karena ayahnya menjanjikan beli es krim kesukaannya. Jadi, setiap si anak mulai mengeluh dan merengek, ayahnya akan mencari-cari pedagang es krim. Artinya, begitu ada, kami harus membeli. Hihihi.
Suamiku tahu, jika sudah menjadi niat dan keinginanku, jangan dilarang, aku bakal uring-uringan sepanjang waktu:D Maka ia mempersilakan aku memimpin jalan. Sebenarnya bisa naik MRT, tapi kami berniat menyusuri jalanan Singapura.

Berbekal peta, jadilah aku mirip Dora The Explorer! Melewati persimpangan Middle Road dan Victoria Street. Lalu masuk jalan kecil Manila Street, sampai di Queen Street. Kami mampir ke toko cinderamata, dan membelikan kaver paspor buat Odie dan Kaka.

Odie memilih kaver bergambar Minion, sementara Kaka bermotif Stich. Dengan raut wajah puas, mereka menimang-nimang paspornya. Dua anak itu juga membeli gantungan kunci seharga S$10 isi 24 biji. Cukup untuk dibagikan sebagai oleh-oleh buat teman-temannya di sekolah.
Kami lalu melanjutkan perjalanan, sampai ke Albert Complex, lalu ketemu persimpangan Bencoolen Street, Rochor Canal Road, dan menyeberang. Semula berniat mengikuti sisi Sungei Road, karena sedang perbaikan di beberapa ruas jalan, kami memilih jalan-jalan kecil. Dengan begitu ada banyak yang bisa dilihat, terutama arsitektur kuno.

Abdul Gaffoor Mosque
 Di Mayo Street ada Masjid Abdul Gaffoor yang antik. Lalu di sepanjang Perak Road banyak hotel-hotel berbangunan cantik tempo doeloe. Masuk Dunlop Street, kami merasa kenal daerah itu.

"Kita di Little India," kata suamiku sambil tersenyum. Setiap kembali ke tempat yang pernah didatangi, rasanya seperti guyuran semangat. Langkah jadi lebih ringan, padahal kami masing-masing membawa dua ransel anak-anak.
 "Jangan-jangan..." Aku tertawa. Suamiku tahu apa yang akan kutebak. Kami merasa lucu, karena Serangoon Road adalah ruas jalan yang menjadi lokasi gambar sampul blog-ku.
Serangoon Road
 Di ruas jalan itu aku sibuk memikirkan James Callaghan sedang menyusuri Singapura tempo doeloe di film seri Serangoon Road. Hehehe.

Puas mengamati sekitar, kami bergegas ke stasiun MRT terdekat, Little India. Dan doa kami terkabul. Pedagang es krim berjualan di dekat pintu masuk stasiun! Kami pun makan es krim senikmatnya!
Aku menatap Odie dan Kaka dengan penuh syukur. Di usia semua mereka, langkahnya amat jauh dari rumah, dibanding kami saat seumur sama. Alhamdulillah kami sudah menunaikan janji untuk membawa mereka keluar negeri, meski sekadar Singapura. Janji yang jika tidak karena pertolongan Allah tidak akan kami tunaikan. (The End)
Bayangkan aksi dua anak kriwil ini bergelayutan ala pesenam. Hihihi














Senin, 09 Desember 2013

Satu Janji Tunai (5)

Bagian buku-buku anak memang menggiurkan. Dinding di pintu masuknya didesain lucu, seperti liang bawah tanah.

Begitu masuk, dominan warna hijau muda menyambut mata. Sebelah kiri adalah ruang baca yang luas. Anak-anak bisa duduk di lantai membaca sambil bersandar pada busur warna-warni atau bertumpu pada kursi empuk.
Ruang baca yang nyamaaan banget!

 Di tengah ruangan adalah rumah pohon buatan. Tangga pendek menuju teras berpagar, yang menjadi tempat mendongeng pada hari-hari tertentu. Aman sekali untuk anak-anak!

Rumah Pohon ada di background.
Aku sempat membacakan 2 buku untuk Odie dan Kaka. Saking semangatnya, sampai ditegur petugas agar tidak berisik. Hahaha. Padahal anak-anak lain yang sedang membaca juga tidak terganggu.

Jadi punya ide, ada pemisahan ruang, untuk pembaca buku yang bertipe audio, karena bacaan akan lebih mudah dipahami sambil bersuara. Sementara yang butuh keheningan ditempatkan di ruang lain. Dari dulu saya ingin memberlakukan ini.

Setelah di ruangan buku anak, kami harus kembali ke hotel untuk packing, siap-siap check out.

Berjalan menuju pintu keluar, kami mampir di arena numerology. Ada papan peraga di situ. Nama kita dihitung, sampai mendapat 1 angka asli, dari 1-9. Lalu angka yang didapat dicocokkan sifat si empunya nama. Tenang aja, karena seluruh tafsiran sifat dan karakter adalah bagus semua dalam masing-masing angka. Penamaan numerology ini mengacu pada budaya India, tiap angka memiliki nama-nama sendiri, misal Surya, Cakra.

Ketika hendak keluar, aku iseng mendekati meja tempat seorang pemuda menghadapi kertas dan setumpuk suvenir.

Ternyata dia sedang menjaga stand komik bertokohkan Mr Kiatsu, sebuah komik yang digemari anak muda Singapura yang akan launching akhir Desember 2013. Ada lomba menuliskan percakapan beberapa sket adegan dalam komik itu. Iseng aku ikutan. Lalu mendapat suvenir memopad dari perpustakaan Singapura.

Dari situ kami kembali ke hotel untuk packing. (Bersambung)
Mario ini disusun dari tumpukan kardus.

Sabtu, 07 Desember 2013

Satu Janji Tunai (4)

Esok paginya, seperti biasa, suamiku minta ijin jalan-jalan lihat suasana. Dalam perjalanan entah berdua atau sekeluarga, aku memberi ruang baginya untuk kegiatannya sendiri. Perlu buat travelwriter sepertinya, melihat sebuah tempat dari sudut pandangnya sendiri.
Kawasan Bugis masih diguyur hujan. Sementara perut kami sudah konser rindu nasi. Aku minta suamiku sekalian mencari sarapan buat kami.

Ketika ia pergi, aku merasa kami adalah sekelompok manusia primitif yang sedang menempati gua baru. Kepala keluarga dengan gagah berani pergi berburu mencari makan, sementara istri dan anak-anak menunggu di gua. Hihihi. Begitulah imaji selalu mengelilingi kami.
Ia pulang membawa daging buruan eh 3 boks styrofoam berisi nasi goreng porsi ekstra dan 2 lembar roti prata. Pagi itu keluarga manusia gua makan dengan lahap. Berhubung mata air sangat jauh, ibu manusia gua telah memasak air dan mendinginkannya. Bapak manusia gua lalu mengisi kantong-kantong air yang dikemudian hari dikenal sebagai botol, untuk bekal perjalanan pagi itu.
Ternyata khayalan masih berlanjut. Hihihi.

Setelah sarapan, kami melompati mesin waktu serupa air terjun yang bisa diatur panas-dingin. Yak, shower maksudnya. Mesin waktu itu membawa ke peradaban kini, karena acaranya adalah memberi pelajaran pada Odie-Kaka tentang perbandingan mata uang dolar Singapura dan rupiah Indonesia.
Untung aku masih menyimpan satuan mata uang rupiah lengkap. Begitu pula, hasil tukar uang dolar sehari sebelumnya cukup untuk menjadi alat pembelajaran. Ini berawal dari pendapat Odie-Kaka tentang harga-harga di Singapura yang murah-meriah.

Lollipop Kaka harganya 20ribu!
"Bayarnya cuma 2 lho, Pah!" Kaka menunjuk harga lollipop Hello Kitty yang dibelinya di 7eleven sebelah hotel.
"Iya, nggak ada yang seribu!" Timpal Odie.
Suamiku tersenyum dan mulai menjelaskan dari awal, ketika tiba di Changi, kami menukar sejumlah 500ribu Rupiah dengan 52 dolar Singapore. Nyesek sebenarnya hati dan mata ini. Tapi anak-anak belum paham nasib Rupiah yang sedang terpuruk.

Untuk memudahkan perhitungan, kami berasumsi S$1 setara dengan Rp 10.000,- dan terbukti Odie Kaka cepat memahami. Esensinya adalah perbandingan mata uang antar dua negara.
Dua anak itu lalu menghitung ulang belanja mereka sebelumnya. Makin pahamlah mereka kenapa kami berhati-hati membelanjakan uang saku yang tak banyak. Jika tidak begitu, bisa-bisa kami kehabisan uang!

Sambil membereskan bekas makan, suamiku berbisik, ia menghabiskan S$15 untuk nasi dan roti, setara hampir Rp 150rb. Lalu kami berdua tertawa kecil. Bersyukurlah kami, masih diberi nikmat dan cukup rezeki.

Menemukan Surga Buku
 
Pukul 9 pagi kami bergerak ke National Library Board (NLB) yang letaknya tak jauh dari hotel. Gedungnya kokoh. Dari luar lebih mirip hotel.
Di information desk suamiku bertanya ini-itu tentang literatur dan berujung meminta alamat e-mail untuk komunikasi selanjutnya.

Antre 5 langkah
Lalu kami melihat-lihat ruangan, dan sampailah di perpustakaannya. Seorang kakek-kakek meminta Odie Kaka untuk antre lima langkah dari pintu masuk yang masih tertutup. Rupanya kakek itu telah antre sejam jam sebelumnya. Perpustakaan dibuka tepat pukul 10. Aku lalu antre sambil mengawasi Odie Kaka yang naik turun eskalator.
Di pintu masuk, ada seorang pemuda menghadapi beberapa lembar kertas dan kotak-kotak mirip suvenir. Belakangan ketika keluar dari perpustakaan, aku mengisi lembar kertas itu dan mendapat suvenir cantik.

Tepat pukul 10, pintu dibuka, kami disambut staf perpustakaan yang berdiri sambil menyapa ramah, "Morning.."
Kami langsung menuju children literature, yang ruangannya didesain cantik. Ada rumah pohon di tengah-tengah. Digunakan untuk kegiatan mendongeng, muat menampung 25 anak-anak. Wuiiihh...serasa masuk surga!
Berasa masuk surga ya, Die!
(Bersambung)


















Kamis, 05 Desember 2013

Satu Janji Tunai (3)

Kinetic Rain
Di Changi, anak-anak minta menonton Kinetic Rain dulu, yang membuat betah. Gerak dan musiknya syahdu, mengingatkan keharusan hidup harmonis dengan sekeliling. Eh itu pikiran saya sih. Mungkin ada yang cuma sibuk menghitung logam berbentuk tetesan air sewarna tembaga. Gak masalah:D
Hari pertama di Singapura, setelah makan pagi, kami menuju Science Centre. Di sana surga buat anak-anak yang ingin tahu segala hal tentang science. Tiket dibandrol S$8 untuk anak-anak dan S$12 untuk dewasa, total S$28 untuk aku dan 2 anak. Suami memilih menunggu di luar.

Jalan menuju Science Centre
Oh ya, jumlah itu cuma untuk masuk Science Centre. Kalau mau tiket terusan dengan wahana Titans of the Past Dinosaurs and Ice Age Mammals, totalnya jadi S$40. Sebenarnya menarik juga, karena menawarkan pameran dan pertunjukan The Growth and Behaviour of Dinosaurs. Lagipula cuma digelar 25 Oktober 2013 - 23 Februari 2014. Tapi karena anak-anak juga tidak begitu antusias, ya kami nggak ambil paket itu.

Dalam Science Centre mungkin lebih menarik karena fenomena fisika keseharian ditunjukkan dengan cara permainan menarik. Jadi bikin anak-anak betah. Hanya labirinnya ruwet buat anak-anak. Cahaya juga dibuat temaram, karena beberapa percobaan membutuhkan sedikit sinar agar lebih fokus.
Beberapa alat membutuhkan koin S$1 untuk bisa bergerak otomatis. Aku mencoba piano klasik yang memperlihatkan ketukan jika tuts pianu ditekan. Piano itu otomatis memainkan sebuah lagu, kita bisa melihat fenomena bunyinya.

Idealnya, menjelajahi Science Centre butuh 3 jam. Tapi bersama Kaka, cukup 1 jam, karena anak ini sudah tidak sabar ingin berenang di water ground di luar arena Science Centre.
Lagipula, aku sudah mulai capek, sempat kram kaki kiri saat dalam wahana Science Centre. Kondisiku dan suami tidak begitu fit saat itu.

Kami belum check in di hotel, jadi masih bawa-bawa ransel. Rencana memang setelah dari science centre, baru ke hotel. Ada juga Snow City, wahana bersalju. Tapi kami sadar dengan ketebalan kantong, jadi cukuplah di wahana ilmu dan water ground. Toh yang penting anak-anak happy.
Kelar dari situ, kami ke stasiun MRT di Jurong East, ngemil snack dan minum, baru naik MRT ke kawasan Bugis. Singapura memang negara kecil, tapi bagusnya disokong transportasi massa. Biar ngga ada yang komen: udah sempit, macet pulak!

Dan proses pembelian tiket juga mudah, kami mengajari Odie dan Kaka membeli tiket otomatis jurusan Bugis. Oh ya, beberapa budaya di sini kami kenalkan sebelum berangkat: antre, tidak buang sampah sembarangan, tidak makan minum di MRT.

Hotel kami di kawasan Middle Road. Berbekal peta yang didapat gratis di bandara, cukup mudah mencarinya. Daaan...keajaiban satu lagi adalah...dekat National Library! Aaakk! Pengen joged-joged jadinya! Langsung kami jadikan destinasi esok pagi.
Sebelum sampai hotel, kami tukar uang dulu, beli bekal buat makan dan jalan esok. Odie-Kaka masih agak bingung kenapa uang 500ribu rupiah cuma ditukar dengan 5 lembar S$10 plus tambahan 1 dolar Singapore dan 50 sen.

Fragrance Hotel yang jadi tujuan kami sekelas hotel bintang tiga, cukup strategis letaknya. Kamar bertarif 1 juta rupiah permalam yang kami booking terhitung mahal dibanding di kota kami. Tidak begitu luas memang. Cukuplah berjejalan di kasurnya yang empuk. Kebetulan aku sudah dua hari begadang, langsung rebah dan tidur setelah menyimpan tas-tas dalam lemari sempit.
Sampai sore Singapura diguyur hujan. Makin malaslah meninggalkan kasur. Apalagi anak-anak masih capek jalan kaki. Akhirnya kami sukses dan puas rehat. Soal makan, terpaksa cari mie instan bermangkok di 7eleven persis di samping hotel. Ajaib memang. Terima kasih, Allah, memudahkan jalan kami.










Satu Janji Tunai (2)

Tiduran di Travellator
Light travel sama anak-anak di bawah 10 tahun selalu diributkan urusan barang-barang kesayangan mereka. Wajarlah, meninggalkan sesuatu yang kita sayangi ke tempat jauh, selalu menimbulkan ketakutan kehilangan. Anak-anak membahasakan dengan segala benda miliknya.
Boleh bawa semua boneka? PS dibawa ya? Kartu-kartu mainan, takut bosen di sana. Hamster boleh ikut? Pertanyaan-pertanyaan itu mengelilingi kesibukanku packing. Kecemasan khas anak-anak, membuat kami harus mencari referensi yang bisa jadi pertimbangan. Kebetulan tak perlu jauh-jauh, anak sulung kami Bella, langsung menjelaskan ke Odie dan Kaka, pengalaman selama di Singapura. Untunglah adik-adiknya menurut, jadi segala barang tak perlu bisa ditinggal.

Babysitting

Sejak mula, aku dan suami sepakat perjalanan kali ini adalah babysitting. Jadi tak banyak ambisi kami yang dimasukkan dalam itinerary. Kecuali permintaanku lihat ruas jalan bernama Serangoon Road. Ini karena kami suka nonton film seri di tv kabel berjudul sama. Tentang Singapura masa lalu.
Pukul 1 dinihari kami berangkat ke bandara. Pesawat terbang pukul 05.40 WIB, jadi harus siap pukul 03.00 WIB. Kebayang kan, bangunin anak-anak jam segitu, nyuruh mandi dan berkemas. Mata belum lagi melek dua-duanya!
Untunglah suamiku amat pengertian. Tahu istrinya capek packing dan hanya tidur 1-2 jam, ia memasak air untuk mandi kami. Olala, makasih, suamiku :*
Dengan mata diberati kantuk kami menembus perjalanan menuju Cengkareng. Sepanjang perjalanan, aku yang biasanya betah melek, tak kuasa menahan gaya tarik antar kelopak mata. Sukses tertidur sampai tujuan.
Di sinilah seninya jalan sama anak-anak. Baru sampai bandara dan menyadari harus bawa ransel masing-masing, sudah muncul keberatan si bungsu, Kaka. Belum lagi rasa lapar dan anak-anak mulai rewel, sementara tenant-tenant banyak yang belum buka.
Kami lalu makan donat dan minum teh tawar yang terlalu panas. Protes anak-anak minta air dingin diatasi dengan mengajari penggunaan keran minum otomatis.

Menjelajah Changi

Begitu mendarat di Changi, Kaka tertawa senang. Sementara kakaknya, Odie sibuk memperhatikan sekeliling.
Mulai dari antre di imigrasi, kami biarkan mereka menempuh proses sendiri. Odie dengan percaya diri maju ke loket, setelah kami beritahu petugas akan lebih ramah pada anak-anak. Meski senyum petugas imigrasi hanya setipis kertas, cukup rasanya buat anak-anak merasa diterima di negeri asing.
Odie dengan senang memperhatikan cap imigrasi di halaman visa pertama paspornya. Sementara Kaka agak iri melihat banyak stempel di halaman paspor ayahnya.
Lalu dimulailah penjelajahan anak-anak itu. Travellator jadi jajahan pertama. Berbagai gaya naik travellator menjadi bahan perbandingan. Diam saja atau ikut berjalan, amatlah berbeda dari gaya berat yang kita rasakan. Berjalan mengikuti laju travellator terasa lebih ringan.
Odie mencoba dengan tiduran di travellator, seperti Superman. Emaknya yang panik saat mendekati ujung. Takut terjepit dan celaka! Na'udzubillah!












Satu Janji Tunai (1)

Berawal dari permintaan Jordy (9 tahun) untuk ikut ayahnya keluar negeri. Tapi saat itu ayahnya pergi berombongan sambil mengajar penulisan. Otomatis akan berubah jadi acara keluarga jika anaknya ikut:)
Maka, dijanjikanlah Jordy ke Singapura bersama Azka suatu saat. Mengingat kesibukan urusan, kami baru berani menetapkan awal Desember ini untuk traveling.
Jadilah 3-4 Desember kami jadwalkan light travel bersama anak-anak. Sebenarnya ini tidak ideal mengingat dua hari dua malam akan mereka tempuh dengan banyak acara jalan kaki. Tapi di Singapura biaya hidup tinggi, meeen! Sementara kondisi keuangan pas-pasan.

Budgeting
Bagaimana memberitahu Odie Kaka soal ini? Cerita kakak-kakaknya waktu traveling ke Singapura begitu seru, membuat Odie-Kaka terbayang-bayang ingin ke sana.
Pelan-pelan kami ceritakan saat mulai booking tiket, harus cari yang murah. Juga hotel, request mereka ingin yang ada kolam renangnya. Kami beri pengertian bahwa rata-rata hotel yang cukup untuk budget kami tidak berkolam renang. Dan fungsi hotel adalah tempat rehat. Jika anak-anak ingin berenang, dapat dilakukan di lain waktu di Serang.
Soal tiket dan hotel mereka mengerti, setidaknya berusaha memahami. Tapi soal oleh-oleh, harus bawa. Ini yang kami tidak bisa cegah. Insting berbagi dengan teman, dalam hal ini sodakoh kebahagiaan, harus didukung. Okelah, untuk oleh-oleh dialokasikan dana khusus, meski juga tak banyak.

Packing
Setiap perjalanan punya ritual packing. Ini permulaan langkah. Dan bagi Kaka yang cenderung perfeksionis dalam memilih baju, jadi kendala sendiri. Betapa lengkap ia menyediakan baju, mulai berangkat hingga pulang, masing-masing setelan tersendiri. Tak ketinggalan jilbab dan kaos kaki.
Ketika kami beritahu baju yang dibawanya terlalu banyak, Kaka menangis karena tidak dapat menentukan pilihan, mana yang harus dibawa. Akhirnya aku musti tegas, memutuskan baju mana saja, meski diiringi tangis Kaka. Sampai dia tertidur karena lelah.
Hal lainnya, ayahnya berniat mengajak mereka 'ngojay' di wahana air. Hotel boleh tak berkolam, tapi berenang harus jadi, prinsip anak-anak. (Bersambung)