Ini diary paska melahirkan anak pertama, enam belas tahun lalu. Masih fresh dalam draft bakal buku. Semoga manfaat. Selamat Hari Ibu;)
***
Hari-hari
pertama setelah melahirkan adalah saat-saat sulit yang harus saya
lalui. Dengan bertambahnya anggota keluarga, jadwal keseharian kami
berubah dan beban pekerjaan ikut bertambah. Jam tidur menjadi berkurang,
malam-malam saya harus bangun mengganti popok lalu menyusui sambil
tiduran. Ini sesuai saran bidan, karena anak kami
divacuum ketika lahir, maka tidak boleh terlalu sering diangkat dan
digendong, agar tak ada gangguan ke kepalanya. Sementara itu kondisi
tubuh saya belum kembali fit seperti semula, ditambah lagi munculnya
keluhan tak nyaman di seluruh badan.
Membicarakan
tubuh yang mulai berubah, membuat hati saya agak masygul juga. Ada
ketakutan jika nanti suami kecewa dengan perubahan bentuk tubuh yang
tambah menggelembung. Atau seperti mitos kondisi vagina yang berubah
karena melahirkan, yang nantinya akan mempengaruhi kualitas hubungan
seksual dengan suami. Belum lagi sakit dan nyeri pada bekas jahitan
karena otot-otot yang mulai mengkerut, serta wasir yang tiba-tiba muncul.
Tapi
untunglah, kami telah mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi pasca kelahiran. Termasuk berapa lama suami ‘cuti’ menjalankan
kewajibannya memberi nafkah batin. Kami sepakat mengambil rentang waktu
tiga bulan sejak melahirkan untuk puasa melakukan hubungan suami istri.
Alhamdulillah, Aa tidak keberatan. Ini mungkin dampak positif karena ia
menemani saya melahirkan, seperti ikut merasakan sakitnya mulas rahim
menjelang kelahiran.
Subhanallah,
ia pun tak masalah dengan perubahan tubuh saya, dan menganggap hal yang
wajar bagi wanita yang telah melahirkan. Bahkan teramat banyak dukungan
yang diberikan pada saya, yang sempat mengalami ‘baby blues’, sindrom
psikis ibu-ibu pasca melahirkan yang ditandai dengan perasaan sedih,
murung dan emosional. Tapi suami saya terus menyemangati dengan
mengingatkan betapa Allah telah memberi anugerah terindah pada kami,
seorang bayi perempuan yang sehat dan cantik.
Padahal
tidak mudah melewati ‘baby blues’, sebuah kondisi yang membuat emosi
labil, bahkan buat saya seperti telah kehilangan sesuatu yang sulit
diungkapkan. Hari-hari saya lalui dengan perasaan tidak menentu, sering marah, menyesali diri sendiri, dan ketidakyakinan menjadi ibu.

Ada
saatnya tiba-tiba saja saya menangis tanpa sebab, membuat suami saya
bingung, dan bertanya-tanya adakah yang salah dari sikapnya. Sempat kami
berdiskusi kecil, dengan harapan ketidakstabilan emosi saya berkurang.
Suami saya sempat bertanya, apakah kondisi emosi saya seperti saat PMS
(pre menstruation syndrom) atau gejala sebelum haid. Saya menjawabnya
dengan gelengan kepala, karena yang saya alami melebihi sindrom pra
haid, bahwa emosi saya seperti tidak ada tujuannya.
Suami
saya mencoba mengerti, membuat saya sedikit merasa nyaman, dan emosi
saya mereda perlahan. Tapi itu hanya bertahan beberapa hari.
Saya
kembali emosional, meskipun tidak kasar. Tapi siapa yang tahan jika
hampir setiap hari diomeli atau dimarahi istri? Suami saya sempat
membalas dengan emosi pula, membuat saya merasa makin terpuruk, menangis
sejadi-jadinya, melepaskan beban yang mengganjal di dalam dada. Mungkin
tidak tega melihat kondisi saya, suami akhirnya minta maaf dan berjanji
akan memahami sikap saya.
Pelan-pelan kami bekerja sama, saling mendukung dan saling mengingatkan untuk sabar. And it works. Saya mulai lepas dari kungkungan absurd, kembali ke keadaan normal. Ini tentu karena lingkungan sangat menyemangati, mertua, ipar, teman, suami dan tentu saja putri pertama kami.
Ibu dan bapak saya yang menyempatkan diri menengok cucu pertamanya pun memberi nasehat dan dukungan penuh. Kebahagiaan
mereka memperoleh cucu pertama membuat saya sadar bahwa saya telah
menjadi ibu yang punya tanggung jawab pada bayinya. Mau tak mau, letih
atau tidak, adalah kewajiban sebagai orang tua untuk mengurus anaknya.
Sebenarnya
kondisi saya sangat menguntungkan, karena saya masih tinggal bersama
mertua, jadi ketika orang tua saya pulang ke Solo masih ada yang
mendampingi saya menghadapi hari-hari pertama pasca kelahiran. Apalagi
Aa sudah habis masa cutinya, dan harus kembali ke Jakarta untuk bekerja,
dan dua kali seminggu pulang ke Serang.
Setiap pagi, ibu mertua saya mengingatkan untuk minum air perasan daun pepaya. Bahkan
tak jarang ibu mertua sendiri yang membuatkannya. Caranya, satu atau
dua lembar daun pepaya yang sudah tua diblender dengan segelas air
matang hangat, lalu disaring, dan diminum tiap pagi satu gelas.
Membayangkannya saja sudah seperti merasakan rasa pahit tak terkira! Ada
cara untuk meminimalisir rasa pahitnya, yaitu dengan menambahkan
sejumput garam.
Sebenarnya
hal itu bukan hal yang asing buat saya, mengingat ramuan itu sering
saya minum waktu saya kecil. Kata ibu saya, air perasan daun pepaya
bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan, meningkatkan
ketahanan tubuh terhadap penyakit dan melancarkan kerja pencernaan. Di
kalangan masyarakat Jawa mengkonsumsi jamu gendong sejak kecil adalah hal yang biasa, makanya saya tidak kaget ketika harus menjalani rutinitas itu lagi.
Karena
itu pula, di rumah kami di Hegar Alam, suami saya menanam beberapa
pohon pepaya, dan ternyata sangat berguna bukan hanya untuk kami, tapi
juga para tetangga. Buah dan daunnya sering diminta
untuk lalap, rujakan atau sayur. Ajaibnya, dari satu pohon yang sama,
jika daunnya sering dimanfaatkan, air perasannya terasa sedikit manis
dan berkurang rasa pahitnya. Apalagi jika buah matangnya disantap usai
makan siang, nyam.. nyam... segar! Subhanallah!
Khasiat
air perasan daun pepaya buat saya sangat manjur, karena badan jadi
nyaman, tidak mudah letih, buang air besar lancar dan ASI melimpah.
Bicara
tentang ASI yang mengalir deras, teringat betapa stressnya saya di
hari-hari awal pasca kelahiran, karena ASI tak juga keluar. Hari pertama
begitu menyiksa, karena bayi saya lebih banyak tidur, seringkali
digelitik supaya bangun. Begitu bangun, saya berusaha mengajarinya untuk
menyedot ASI, tapi alangkah susahnya! Baik saya yang masih kaku dalam
menyusui, pun bayi yang masih malas-malasan menyusu. Karena kasihan dan
khawatir akan asupan makannya, hari pertama itu saya
habiskan dengan lebih sering memberi susu formula. Saya pun kena tegur
perawat, karena jarang berlatih menyusui. Suami saya yang melihat saya
mulai down, memberi semangat untuk mencoba esok harinya.
Hari
kedua saya bertekad untuk berhasil memberi ASI, dan ini sangat didukung
oleh suami saya. Ia datang membawa sekantung penuh buah anggur dan
kue-kue kesukaan saya, lalu meminta saya untuk menghabiskan semua. Saya
tersenyum haru melihat betapa antusiasnya dia. Bahkan ketika saya
melihat ada yang kurang dari oleh-olehnya, berupa susu coklat dalam
kemasan, ia langsung pergi membelikan yang saya minta!
Agaknya
bayi kami pun menyambut semangat ayah ibunya dengan tidak susah
dibangunkan. Saya menjadi bersemangat ketika bayi mulai mau menyusu,
sedikit demi sedikit mulut mungilnya menyedot ASI, dengan iringan Doa
Mulai Makan yang saya bisikkan bagai mantra. Bayi saya mulai menyedot
dengan nyaman, membuat saya kegelian karena gesekan lidah bayi yang
masih kasar.
Suami saya menatap bahagia melihatnya, sambil berbicara pada bayi, bahwa kami sangat menyayangi dia, dan berharap kelak jadi anak salehah. Tapi,
sampai hari kedua itu ASI saya belum keluar juga. Bahkan sampai malam
hari, membuat saya sempat menangis di pundak suami, takut jika tidak
dapat memberikan ASI karena tak keluar. Suami saya membujuk, masih ada
hari esok untuk menjadi lebih bersemangat.
Esoknya, di hari ketiga, usai mandi dan sarapan, saya bersiap menyusui bayi. Tapi
baru juga bayi ada di pangkuan, saya baru meyadari, bra saya terasa
basah. Perasaan saya seperti melambung perlahan, berharap plus cemas
sesuatu yang saya nantikan sejak lama akan saya dapat.
Benarlah,
bayi saya seperti mencium bau yang dia amat kenali, dan seperti sudah
hafal gerakan saya yang hendak menyusui dia, tak sulit baginya untuk
mencari-cari puting dan menyedotnya dengan irama khas.
Allahu
akbar, baru beberapa sedotan, bayi saya berhenti karena tersedak
seperti terlalu banyak minum. Saya melihat ASI yang menetes dari
mulutnya. Saya berteriak memanggil suami, dan menunjukkan momen bahagia
itu. Suami saya tersenyum bahagia, mencium kening saya sambil berkata,
”Sekarang Mamah bisa menyusui sepuasnya!”
Saya
sendiri belum yakin perkataan suami. Ada semacam ketakutan, bagaimana
jika hanya untuk hari ini saja ASI keluar, bagaimana jika hanya sedikit
produksi ASI, apakah bayi saya menyukai rasa ASI saya, dan pertanyaan
lain yang menggoyang semangat saya.
Antara
pasrah dan semangat, saya mulai menyusui bayi lagi, dan terulang, bayi
saya tersedak, gelagapan, dan subhanallah ASI saya keluar deras seperti
mata air mengalir deras.
Air
mata saya menggenang, dalam hati tak henti bertasbih, Allah memberikan
jalan bagi kami untuk memberikan makanan terbaik buat bayi. Wajah bayi
yang tampak nikmat menyusui menghiasi benak kami, begitu bahagianya!
Beginikah rasanya ibu dan bapak saat saya lahir? Beginikah rasanya menjadi ibu? Subhanallah. Terima kasih, nak. Engkau lahir untuk mengajarkan banyak hal bagi ibumu. Terima kasih, telah menjadi 'ibu'.(*)
baca postingan ini membawa aku kembali ke masa-masa yang sama. Kadang gak percaya kalo saya yang suka mengaku wonderwomen ini ternyata bisa mengalami baby blues. *lap keringet. Nice story mbak...
BalasHapus