Senin, 06 Januari 2014

LELAKI PEJALAN : FAJAR



PACKING

1
Setiap mekar cinta
kusimpan selembar kelopaknya
pengingat musim berbeda.

            Aku sebenarnya risih jika dia mengirim pesan samar. Mulai dari ujung terang matahari, hingga temaram senja. Kode-kode dikirimnya seperti lesat anak panah. Satu persatu. Parahnya, aku merasa tertancap. Tanpa rasa sakit. Bahkan menikmati.
            Lelaki macam apa aku! Lengan boleh besar dan kuat. Tapi menghadapi panah-panah virtual berkode itu aku melempem. Seperti kerupuk tercelup dalam kuah. Nyess.
            Tapi ia memekarkan semua kelopak semangat. Caranya melipat sweater usangku dan menyembunyikan utas benang yang mencuat.  Lamban atau terlalu hati-hati. Tapi aku menyukainya. Wajahnya tak berpaling sebelum seluruh baju masuk dalam backpack.
            Dan tiap kubuka backpack di tempat tujuan, aku seperti menemui selembar kelopak cintanya. Begitu terus setiap perjalanan.

*

2
Kita masih mencari, sebuah
Nuun
hingga tak terucap
kata semarak. 

            Aku lelaki ramai. Tak suka tempat sepi, kecuali saat kontemplasi. Aku suka bercakap-cakap dengan orang-orang tentang banyak hal. Membuatku belajar ilmu baru.
            Lelaki yang riuh, sebutnya. Ya, biar saja. Aku tidak mau mengubah diriku menjadi orang lain. Sesekali bicara keras. Marah dan mengancam karena benar. Menggebrak meja kalau perlu. Riak dalam hidupku yang keras. Karena harus teguh pada yang kuyakini.
            Di sampingnya, perdebatan jadi sebuah simponi. Kami memilih nada-nada dan membahasnya. Syahdu. Dan aku merasa seimbang. Gelegak magma dalam hati dan otakku menjinak. Banyak nada yang harus dipelajari, sumbangkah iramanya?
            Aku mengenang percakapan syahdu itu di setiap perjalanan sepi. Sepertinya sekelilingku menyanyikan himne kami.

*

3
Perempuan
tak mungkin berjalan dalam sunyi.
Sebab ia menyandang air mata
yang harus dikabarkan. 

            Saat bersiap pergi, aku harus menghadapi mata itu. Ketakutan yang dilipatnya rapi. Ia tak mau mengakuinya, sebab tahu pasti aku tak ingin ia takut. Aku memintanya berani. Tapi ia selalu punya air mata. Tetes yang aku tak suka.
            Pernah aku marah karena merasa likat dengan isaknya. Tapi matanya berkata, “Harus kukabarkan padamu.”
            Aku belajar memahami. Ia tak dapat sendiri. Sebab aku dibutuhkannya.

*

4
Jangan takut meninggalkanku
aku dimiliki sesuatu
tak dapat kausaingi. 

            Ketakutan dan keberanian seperti jungkat-jungkit. Berat di sini, ringan di sana. Bergantian seperti kami. Aku selalu minta waktu bicara dengannya sebelum melangkah keluar pagar. Akan terasa berat sekian kali lipat backpack yang kusandang jika senyum ikhlasnya tak kudapatkan.
            Sering pula ketakutan itu bak simpul menjerat langkahku. Tapi jika begitu, ia yang memutus utasnya. Dengan gagah disangganya rasa berat, menepuk bahuku dengan ringan. Aku tahu ia  merasakan ketakutanku.
            Ketakutan setiap petualang tak mampu kembali pulang. Tapi diusapnya ragu, penuh yakin  ia berkata, “Aku dimiliki Sesuatu, mintalah agar kita selalu bertemu.”
            Sesudahnya, langkahku ringan…
*

5
Aku tak akan pernah melarangmu melangkah.
Tapi, selipkan selalu bau rumah di saku.

            Setelah mendengar semua rencanaku, perempuanku akan diam. Berpikir panjang. Ia merangkai ramalan rumit yang akan dihadapinya sendiri. Membuatku tak sabar menunggu ia mengangguk.
Ramalannya pun seringkali kumentahkan dengan alibi. Padahal aku sendiri pun hanya setengah yakin. Lalu tiba saatnya ia mengiyakan. Justru saat itulah aku sering merasa heran. Mengapa ia begitu yakin melepasku bepergian? Tak takutkah ia?
Sebaliknya, aku, tegakah meninggalkannya dan seisi rumah? Ah, sulit kujelaskan keinginan yang menggelegak saat lama berdiam. Aku, lelaki yang tumbuh di jalan. Kuharap ia mengerti.
Tampaknya ia sangat memahami. Buhul pengertian yang dianyamnya kian teguh. Dan berbau rumah. Yang diselipkannya di semua saku baju dan backpack. 
*

6
Mari duduk berdua
berdebat tentang apa saja
atau diam, hanya memandang
sadar atau tidak, mimpi kita seringkali sama.

            Ia percaya telepati. Aku, nyaris percaya. Tapi bukti menguatkan pikiran kami seringkali sejalan. Bahkan saat itu baru ada di kepala. Atau hati. 
            Walau kadang percakapan berseberangan. Kami adalah dua sisi sungai. Atau rel yang berpasangan. Menjaga jarak dengan perdebatan. Tapi menuju titik sama.
            Saat lelah berbincang, atau bosan berdebat, kami diam. Pikiran yang menjaga langkah masing-masing agar tak saling meninggalkan. Menyesuaikan irama mimpi. Bahkan tanpa berkata-kata.
*

7
Dekat
tak tersentuh
sebab kita saling pahami
rasa sayang adalah bekal
dan peta harus dibuat dari pemikiran panjang.

            Ia perempuan penurut. Pada lelaki seperti aku. Takdir memasangkan kami. Kelihatannya aku dominan. Padahal ia yang berkuasa atas perjalananku. Orang tak tahu, aku tak akan melangkah tanpa ijinnya. Tanpa senyumnya. Tidak jika ia tak mau menyiapkan bekalku.
            Maka aku harus membuat sebuah peta perjalanan yang dapat ia pantau dari jauh. Jejak yang dapat ia mengerti saat aku tak berkabar. Agar tak risau hari-harinya. Aku membutuhkan doa perempuanku. Doa yang dijalinnya dengan rasa sayang.
            Padahal, jika mau, ia dapat menggelengkan kepala setiap saat aku hendak pergi. Aku akan menuruti. Tapi ia tak mengambil kesempatan itu. Membiarkan kata tidak menjadi tak terjamah, padahal hanya selangkah.
            Aku menggenggam senyumnya, ke mana langkah terbuat.
*

8
kamu mau aku berani
sebab melangkah denganmu
harus siap berperih-perih
tanpa singgasana

            Aku menyerahkan nampan bertudung saat itu. Isinya permintaan menjadi pasanganku. Tapi sebelum membuka tutupnya, aku mewanti-wanti agar ia berani. Menemani jalanku, menghadap ke depan sebab aku terbiasa hidup di jalanan. Dan ia mengangguk.
            Dibukanya tudung nampan. Ada banyak hal di situ. Kerikil, hujan, panas matahari, senja dan gelap. Juga jantungku yang berdegup kencang. Ia tersenyum meraih jantung dan mengatupkan dua telapak tangan. Aku merasa hangat.
            Kataku, “Aku serahkan hidupku padamu. Seperti itulah aku.”
            Jawabnya, “Aku mencoba berani, untukmu.”
            Dan hidup memang penuh liku. Tapi ia menciptakan bahagia dengan cara-cara sederhana.
*

9
Tak mau kutinggalkan air mata
meski di sana rindu bermuara
sebab hanya menahan langkah
keberanian seorang lelaki.

            Dulu kusangsikan mengapa perempuan begitu banyak memiliki air mata. Bahkan untuk hal sepele. Bukankah setelahnya mereka juga dapat tertawa?
            Lalu seiring kerut, aku belajar menerima. Perempuanku pun punya danau di matanya. Danau yang sangat luas. Mungkin tergolong lautan, atau bahkan samudra.
            Perjalananku sering menggoyang permukaan air. Gelombang kecil, riak atau ombak kulihat menari-nari mengiringi perempuanku menggulung baju dan memasukkannya dalam tas. Tapi tak ada yang membekas di tepian. Sebab tarian itu tak pernah sampai.
            “Katakanlah segala risau,” lenganku terulur. Tapi ia mencegah.
            “Tidak. Jangan memeluk saat ini. Hanya akan membuat danau menari,” ia memilih menyibukkan diri.
            “Jangan memberatkan hati,” aku memilih kata-kata terbaik.
            “Tidak,” ia menatapku setelah ringan napas. “Hatiku ringan. Aku hanya tak ingin memberatkan langkahmu.”
            Aku setengah menyesal. Harusnya kubiarkan ia membanjiriku dengan rindu yang disimpannya dalam danau, lautan atau samudra di matanya.
*

10
Kutitipkan khawatir di sela dzikir
mendamaikan hati dengan ishbir…

            Aku lelaki riuh. Suka dengan keramaian. Kadang lupa aku pada kesendirian. Dan perempuanku sering menyodorkan pil pahit, ingatan pada neraka di saat sama menyuguhkan surga. Kombinasi rumit, tapi membuatku berusaha seimbang. Tapi di jalanan, aku sering kelimpungan. Banyak hal menggoda.
            Dari jauh ia menyeru. Lewat kesiur angin, arak-arakan awan  atau bintang yang dibidiknya acak.  Membuatku berdamai dengan sepertiga malam.

*

11
Seperti katamu
keberanian harus disandang
sebelum membuka pintu…

            Petualang gamang di langkah awal. Ketidakpastian menyergap. Jalan di hadapan bukan rumus pasti. Rencana-rencana selalu tersedia dan mudah dicari. Tapi takdir tak pernah diketahui.
            Setiap ketakutan menjelma jadi ragu. Keraguan membuat banyak sekali pertimbangan. Dalam sunyi pembicaraan. Mudah sekali memutuskan menyerah, seolah hidup terbebaskan dari masalah. Seringan memutus langkah yang belum dibuat.
            Tapi sayangnya, petualang adalah makhluk keras kepala. Perjalanan akan menjadi mimpi buruk jika tak diwujudkan. Berbahaya jika niat hanya mampat di kepala.
            “Ya, keberanian harus disandang, di belakang sebuah pintu,” kataku yang ia ulang-ulang sebagai mantra.
*
           
12
Engkau adalah bintang
alasan malam
sukar dijelaskan

            Malam di balkon atas, berbaring menatap langit. Ritual kesukaannya. Menerka nama bintang, tak peduli kebenarannya. Mitos-mitos ia gulirkan. Tapi tak satu rasi pun tampak. Langit tak selalu berpihak padanya.
            Tiap tampak kilauan kecil, yang kuanggap titik, ia menunjuk riang. Lalu lurus memandang dengan senyum haru. Apa yang dicarinya?
            Di tiap perjalanan, saat malam dan bertemu bintang, aku mengingat riangnya. Keharuan akan menyesakkan dada. Sepertinya aku menemukan sebabnya.

***







 


5 komentar:

  1. Konon kata orang hanya mereka yang sedang JATUH CINTA sontak menjadi mahir menuliskan PUISI yang INDAH

    BalasHapus
  2. hihihi... iya kali... saya hampir tiap hari berpuisi. mungkinkah karena jatuh cinta setiap saat?
    eh kayak iklan rex*na :)))
    makasih, pak:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mbak tias pasti setiap saat jatuh cinta sama mas gong makanya tiap hari berpuisi hehehe

      Hapus
    2. xixixi jatuh cinta itu bisa menerbitkan banyak ide..

      Hapus
  3. suka bangeeetttss baca puisinya mbak tias.. :) udah lama gak baca #lelakipejalan

    BalasHapus