PACKING
1
Setiap
mekar cinta
kusimpan
selembar kelopaknya
pengingat
musim berbeda.
Aku sebenarnya risih jika dia
mengirim pesan samar. Mulai dari ujung terang matahari, hingga temaram senja.
Kode-kode dikirimnya seperti lesat anak panah. Satu persatu. Parahnya, aku
merasa tertancap. Tanpa rasa sakit. Bahkan menikmati.
Lelaki macam apa aku! Lengan boleh
besar dan kuat. Tapi menghadapi panah-panah virtual berkode itu aku melempem.
Seperti kerupuk tercelup dalam kuah. Nyess.
Tapi ia memekarkan semua kelopak
semangat. Caranya melipat sweater usangku dan menyembunyikan utas benang yang
mencuat. Lamban atau terlalu hati-hati.
Tapi aku menyukainya. Wajahnya tak berpaling sebelum seluruh baju masuk dalam
backpack.
Dan tiap kubuka backpack di tempat
tujuan, aku seperti menemui selembar kelopak cintanya. Begitu terus setiap
perjalanan.
*
2
Kita
masih mencari, sebuah
Nuun
hingga
tak terucap
kata
semarak.
Aku lelaki ramai. Tak suka tempat
sepi, kecuali saat kontemplasi. Aku suka bercakap-cakap dengan orang-orang
tentang banyak hal. Membuatku belajar ilmu baru.
Lelaki yang riuh, sebutnya. Ya, biar
saja. Aku tidak mau mengubah diriku menjadi orang lain. Sesekali bicara keras.
Marah dan mengancam karena benar. Menggebrak meja kalau perlu. Riak dalam
hidupku yang keras. Karena harus teguh pada yang kuyakini.
Di sampingnya, perdebatan jadi
sebuah simponi. Kami memilih nada-nada dan membahasnya. Syahdu. Dan aku merasa
seimbang. Gelegak magma dalam hati dan otakku menjinak. Banyak nada yang harus
dipelajari, sumbangkah iramanya?
Aku mengenang percakapan syahdu itu
di setiap perjalanan sepi. Sepertinya sekelilingku menyanyikan himne kami.
*
3
Perempuan
tak
mungkin berjalan dalam sunyi.
Sebab
ia menyandang air mata
yang
harus dikabarkan.
Saat bersiap pergi, aku harus
menghadapi mata itu. Ketakutan yang dilipatnya rapi. Ia tak mau mengakuinya,
sebab tahu pasti aku tak ingin ia takut. Aku memintanya berani. Tapi ia selalu
punya air mata. Tetes yang aku tak suka.
Pernah aku marah karena merasa likat
dengan isaknya. Tapi matanya berkata, “Harus kukabarkan padamu.”
Aku belajar memahami. Ia tak dapat
sendiri. Sebab aku dibutuhkannya.
*
4
Jangan
takut meninggalkanku
aku
dimiliki sesuatu
tak
dapat kausaingi.
Ketakutan dan keberanian seperti
jungkat-jungkit. Berat di sini, ringan di sana. Bergantian seperti kami. Aku
selalu minta waktu bicara dengannya sebelum melangkah keluar pagar. Akan terasa
berat sekian kali lipat backpack yang kusandang jika senyum ikhlasnya tak
kudapatkan.
Sering pula ketakutan itu bak simpul
menjerat langkahku. Tapi jika begitu, ia yang memutus utasnya. Dengan gagah
disangganya rasa berat, menepuk bahuku dengan ringan. Aku tahu ia merasakan ketakutanku.
Ketakutan setiap petualang tak mampu
kembali pulang. Tapi diusapnya ragu, penuh yakin ia berkata, “Aku dimiliki Sesuatu, mintalah
agar kita selalu bertemu.”
Sesudahnya, langkahku ringan…
*
5
Aku
tak akan pernah melarangmu melangkah.
Tapi,
selipkan selalu bau rumah di saku.
Setelah mendengar semua rencanaku,
perempuanku akan diam. Berpikir panjang. Ia merangkai ramalan rumit yang akan
dihadapinya sendiri. Membuatku tak sabar menunggu ia mengangguk.
Ramalannya pun seringkali kumentahkan
dengan alibi. Padahal aku sendiri pun hanya setengah yakin. Lalu tiba saatnya
ia mengiyakan. Justru saat itulah aku sering merasa heran. Mengapa ia begitu
yakin melepasku bepergian? Tak takutkah ia?
Sebaliknya, aku, tegakah meninggalkannya
dan seisi rumah? Ah, sulit kujelaskan keinginan yang menggelegak saat lama
berdiam. Aku, lelaki yang tumbuh di jalan. Kuharap ia mengerti.
Tampaknya ia sangat memahami. Buhul
pengertian yang dianyamnya kian teguh. Dan berbau rumah. Yang diselipkannya di
semua saku baju dan backpack.
*
6
Mari
duduk berdua
berdebat
tentang apa saja
atau
diam, hanya memandang
sadar
atau tidak, mimpi kita seringkali sama.
Ia percaya telepati. Aku, nyaris
percaya. Tapi bukti menguatkan pikiran kami seringkali sejalan. Bahkan saat itu
baru ada di kepala. Atau hati.
Walau kadang percakapan
berseberangan. Kami adalah dua sisi sungai. Atau rel yang berpasangan. Menjaga
jarak dengan perdebatan. Tapi menuju titik sama.
Saat lelah berbincang, atau bosan berdebat,
kami diam. Pikiran yang menjaga langkah masing-masing agar tak saling
meninggalkan. Menyesuaikan irama mimpi. Bahkan tanpa berkata-kata.
*
7
Dekat
tak
tersentuh
sebab
kita saling pahami
rasa
sayang adalah bekal
dan
peta harus dibuat dari pemikiran panjang.
Ia perempuan penurut. Pada lelaki
seperti aku. Takdir memasangkan kami. Kelihatannya aku dominan. Padahal ia yang
berkuasa atas perjalananku. Orang tak tahu, aku tak akan melangkah tanpa
ijinnya. Tanpa senyumnya. Tidak jika ia tak mau menyiapkan bekalku.
Maka aku harus membuat sebuah peta
perjalanan yang dapat ia pantau dari jauh. Jejak yang dapat ia mengerti saat
aku tak berkabar. Agar tak risau hari-harinya. Aku membutuhkan doa perempuanku.
Doa yang dijalinnya dengan rasa sayang.
Padahal, jika mau, ia dapat
menggelengkan kepala setiap saat aku hendak pergi. Aku akan menuruti. Tapi ia
tak mengambil kesempatan itu. Membiarkan kata tidak menjadi tak terjamah,
padahal hanya selangkah.
Aku menggenggam senyumnya, ke mana
langkah terbuat.
*
8
kamu
mau aku berani
sebab
melangkah denganmu
harus
siap berperih-perih
tanpa
singgasana
Aku menyerahkan nampan bertudung
saat itu. Isinya permintaan menjadi pasanganku. Tapi sebelum membuka tutupnya,
aku mewanti-wanti agar ia berani. Menemani jalanku, menghadap ke depan sebab
aku terbiasa hidup di jalanan. Dan ia mengangguk.
Dibukanya tudung nampan. Ada banyak
hal di situ. Kerikil, hujan, panas matahari, senja dan gelap. Juga jantungku
yang berdegup kencang. Ia tersenyum meraih jantung dan mengatupkan dua telapak
tangan. Aku merasa hangat.
Kataku, “Aku serahkan hidupku
padamu. Seperti itulah aku.”
Jawabnya, “Aku mencoba berani,
untukmu.”
Dan hidup memang penuh liku. Tapi ia
menciptakan bahagia dengan cara-cara sederhana.
*
9
Tak
mau kutinggalkan air mata
meski
di sana rindu bermuara
sebab
hanya menahan langkah
keberanian
seorang lelaki.
Dulu kusangsikan mengapa perempuan
begitu banyak memiliki air mata. Bahkan untuk hal sepele. Bukankah setelahnya
mereka juga dapat tertawa?
Lalu seiring kerut, aku belajar
menerima. Perempuanku pun punya danau di matanya. Danau yang sangat luas.
Mungkin tergolong lautan, atau bahkan samudra.
Perjalananku sering menggoyang
permukaan air. Gelombang kecil, riak atau ombak kulihat menari-nari mengiringi
perempuanku menggulung baju dan memasukkannya dalam tas. Tapi tak ada yang
membekas di tepian. Sebab tarian itu tak pernah sampai.
“Katakanlah segala risau,” lenganku
terulur. Tapi ia mencegah.
“Tidak. Jangan memeluk saat ini.
Hanya akan membuat danau menari,” ia memilih menyibukkan diri.
“Jangan memberatkan hati,” aku
memilih kata-kata terbaik.
“Tidak,” ia menatapku setelah ringan
napas. “Hatiku ringan. Aku hanya tak ingin memberatkan langkahmu.”
Aku setengah menyesal. Harusnya
kubiarkan ia membanjiriku dengan rindu yang disimpannya dalam danau, lautan
atau samudra di matanya.
*
10
Kutitipkan
khawatir di sela dzikir
mendamaikan
hati dengan ishbir…
Aku lelaki riuh. Suka dengan
keramaian. Kadang lupa aku pada kesendirian. Dan perempuanku sering menyodorkan
pil pahit, ingatan pada neraka di saat sama menyuguhkan surga. Kombinasi rumit,
tapi membuatku berusaha seimbang. Tapi di jalanan, aku sering kelimpungan.
Banyak hal menggoda.
Dari jauh ia menyeru. Lewat kesiur
angin, arak-arakan awan atau bintang
yang dibidiknya acak. Membuatku berdamai
dengan sepertiga malam.
*
11
Seperti
katamu
keberanian
harus disandang
sebelum
membuka pintu…
Petualang gamang di langkah awal.
Ketidakpastian menyergap. Jalan di hadapan bukan rumus pasti. Rencana-rencana
selalu tersedia dan mudah dicari. Tapi takdir tak pernah diketahui.
Setiap ketakutan menjelma jadi ragu.
Keraguan membuat banyak sekali pertimbangan. Dalam sunyi pembicaraan. Mudah
sekali memutuskan menyerah, seolah hidup terbebaskan dari masalah. Seringan
memutus langkah yang belum dibuat.
Tapi sayangnya, petualang adalah
makhluk keras kepala. Perjalanan akan menjadi mimpi buruk jika tak diwujudkan.
Berbahaya jika niat hanya mampat di kepala.
“Ya, keberanian harus disandang, di
belakang sebuah pintu,” kataku yang ia ulang-ulang sebagai mantra.
*
12
Engkau
adalah bintang
alasan
malam
sukar
dijelaskan
Malam di balkon atas, berbaring
menatap langit. Ritual kesukaannya. Menerka nama bintang, tak peduli
kebenarannya. Mitos-mitos ia gulirkan. Tapi tak satu rasi pun tampak. Langit
tak selalu berpihak padanya.
Tiap tampak kilauan kecil, yang
kuanggap titik, ia menunjuk riang. Lalu lurus memandang dengan senyum haru. Apa
yang dicarinya?
Di tiap perjalanan, saat malam dan
bertemu bintang, aku mengingat riangnya. Keharuan akan menyesakkan dada.
Sepertinya aku menemukan sebabnya.
***
Konon kata orang hanya mereka yang sedang JATUH CINTA sontak menjadi mahir menuliskan PUISI yang INDAH
BalasHapushihihi... iya kali... saya hampir tiap hari berpuisi. mungkinkah karena jatuh cinta setiap saat?
BalasHapuseh kayak iklan rex*na :)))
makasih, pak:)
mbak tias pasti setiap saat jatuh cinta sama mas gong makanya tiap hari berpuisi hehehe
Hapusxixixi jatuh cinta itu bisa menerbitkan banyak ide..
Hapussuka bangeeetttss baca puisinya mbak tias.. :) udah lama gak baca #lelakipejalan
BalasHapus