Selasa, 24 Desember 2013

Aku Melahirkan Ibu

Ini diary paska melahirkan anak pertama, enam belas tahun lalu. Masih fresh dalam draft bakal buku. Semoga manfaat. Selamat Hari Ibu;)
***
Hari-hari pertama setelah melahirkan adalah saat-saat sulit yang harus saya lalui. Dengan bertambahnya anggota keluarga, jadwal keseharian kami berubah dan beban pekerjaan ikut bertambah. Jam tidur menjadi berkurang, malam-malam saya harus bangun mengganti popok lalu menyusui sambil tiduran. Ini sesuai saran bidan, karena anak kami divacuum ketika lahir, maka tidak boleh terlalu sering diangkat dan digendong, agar tak ada gangguan ke kepalanya. Sementara itu kondisi tubuh saya belum kembali fit seperti semula, ditambah lagi munculnya keluhan tak nyaman di seluruh badan.
Membicarakan tubuh yang mulai berubah, membuat hati saya agak masygul juga. Ada ketakutan jika nanti suami kecewa dengan perubahan bentuk tubuh yang tambah menggelembung. Atau seperti mitos kondisi vagina yang berubah karena melahirkan, yang nantinya akan mempengaruhi kualitas hubungan seksual dengan suami. Belum lagi sakit dan nyeri pada bekas jahitan karena otot-otot yang mulai mengkerut, serta wasir yang tiba-tiba muncul.
Tapi untunglah, kami telah mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pasca kelahiran. Termasuk berapa lama suami ‘cuti’ menjalankan kewajibannya memberi nafkah batin. Kami sepakat mengambil rentang waktu tiga bulan sejak melahirkan untuk puasa melakukan hubungan suami istri. Alhamdulillah, Aa tidak keberatan. Ini mungkin dampak positif karena ia menemani saya melahirkan, seperti ikut merasakan sakitnya mulas rahim menjelang kelahiran.
Subhanallah, ia pun tak masalah dengan perubahan tubuh saya, dan menganggap hal yang wajar bagi wanita yang telah melahirkan. Bahkan teramat banyak dukungan yang diberikan pada saya, yang sempat mengalami ‘baby blues’, sindrom psikis ibu-ibu pasca melahirkan yang ditandai dengan perasaan sedih, murung dan emosional. Tapi suami saya terus menyemangati dengan mengingatkan betapa Allah telah memberi anugerah terindah pada kami, seorang bayi perempuan yang sehat dan cantik.
Padahal tidak mudah melewati ‘baby blues’, sebuah kondisi yang membuat emosi labil, bahkan buat saya seperti telah kehilangan sesuatu yang sulit diungkapkan. Hari-hari saya lalui dengan perasaan tidak menentu, sering marah, menyesali diri sendiri, dan ketidakyakinan menjadi ibu.

Ada saatnya tiba-tiba saja saya menangis tanpa sebab, membuat suami saya bingung, dan bertanya-tanya adakah yang salah dari sikapnya. Sempat kami berdiskusi kecil, dengan harapan ketidakstabilan emosi saya berkurang. Suami saya sempat bertanya, apakah kondisi emosi saya seperti saat PMS (pre menstruation syndrom) atau gejala sebelum haid. Saya menjawabnya dengan gelengan kepala, karena yang saya alami melebihi sindrom pra haid, bahwa emosi saya seperti tidak ada tujuannya.
Suami saya mencoba mengerti, membuat saya sedikit merasa nyaman, dan emosi saya mereda perlahan. Tapi itu hanya bertahan beberapa hari.
Saya kembali emosional, meskipun tidak kasar. Tapi siapa yang tahan jika hampir setiap hari diomeli atau dimarahi istri? Suami saya sempat membalas dengan emosi pula, membuat saya merasa makin terpuruk, menangis sejadi-jadinya, melepaskan beban yang mengganjal di dalam dada. Mungkin tidak tega melihat kondisi saya, suami akhirnya minta maaf dan berjanji akan memahami sikap saya.
Pelan-pelan kami bekerja sama, saling mendukung dan saling mengingatkan untuk sabar. And it works. Saya mulai lepas dari kungkungan absurd, kembali ke keadaan normal. Ini tentu karena lingkungan sangat menyemangati, mertua, ipar, teman, suami dan tentu saja putri pertama kami.
Ibu dan bapak saya yang menyempatkan diri menengok cucu pertamanya pun memberi nasehat dan dukungan penuh. Kebahagiaan mereka memperoleh cucu pertama membuat saya sadar bahwa saya telah menjadi ibu yang punya tanggung jawab pada bayinya. Mau tak mau, letih atau tidak, adalah kewajiban sebagai orang tua untuk mengurus anaknya.
Sebenarnya kondisi saya sangat menguntungkan, karena saya masih tinggal bersama mertua, jadi ketika orang tua saya pulang ke Solo masih ada yang mendampingi saya menghadapi hari-hari pertama pasca kelahiran. Apalagi Aa sudah habis masa cutinya, dan harus kembali ke Jakarta untuk bekerja, dan dua kali seminggu pulang ke Serang.
Setiap pagi, ibu mertua saya mengingatkan untuk minum air perasan daun pepaya.  Bahkan tak jarang ibu mertua sendiri yang membuatkannya. Caranya, satu atau dua lembar daun pepaya yang sudah tua diblender dengan segelas air matang hangat, lalu disaring, dan diminum tiap pagi satu gelas. Membayangkannya saja sudah seperti merasakan rasa pahit tak terkira! Ada cara untuk meminimalisir rasa pahitnya, yaitu dengan menambahkan sejumput garam.
Sebenarnya hal itu bukan hal yang asing buat saya, mengingat ramuan itu sering saya minum waktu saya kecil. Kata ibu saya, air perasan daun pepaya bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan,  meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit dan melancarkan kerja pencernaan. Di kalangan masyarakat Jawa mengkonsumsi jamu gendong sejak kecil adalah hal yang biasa, makanya saya tidak kaget ketika harus menjalani rutinitas itu lagi.
Karena itu pula, di rumah kami di Hegar Alam, suami saya menanam beberapa pohon pepaya, dan ternyata sangat berguna bukan hanya untuk kami, tapi juga para tetangga. Buah dan daunnya sering diminta untuk lalap, rujakan atau sayur. Ajaibnya, dari satu pohon yang sama, jika daunnya sering dimanfaatkan, air perasannya terasa sedikit manis dan berkurang rasa pahitnya. Apalagi jika buah matangnya disantap usai makan siang, nyam.. nyam... segar! Subhanallah!
Khasiat air perasan daun pepaya buat saya sangat manjur, karena badan jadi nyaman, tidak mudah letih, buang air besar lancar dan ASI melimpah.
Bicara tentang ASI yang mengalir deras, teringat betapa stressnya saya di hari-hari awal pasca kelahiran, karena ASI tak juga keluar. Hari pertama begitu menyiksa, karena bayi saya lebih banyak tidur, seringkali digelitik supaya bangun. Begitu bangun, saya berusaha mengajarinya untuk menyedot ASI, tapi alangkah susahnya! Baik saya yang masih kaku dalam menyusui, pun bayi yang masih malas-malasan menyusu. Karena kasihan dan khawatir akan  asupan makannya, hari pertama itu saya habiskan dengan lebih sering memberi susu formula. Saya pun kena tegur perawat, karena jarang berlatih menyusui. Suami saya yang melihat saya mulai down, memberi semangat untuk mencoba esok harinya.
Hari kedua saya bertekad untuk berhasil memberi ASI, dan ini sangat didukung oleh suami saya. Ia datang membawa sekantung penuh buah anggur dan kue-kue kesukaan saya, lalu meminta saya untuk menghabiskan semua. Saya tersenyum haru melihat betapa antusiasnya dia. Bahkan ketika saya melihat ada yang kurang dari oleh-olehnya, berupa susu coklat dalam kemasan, ia langsung pergi membelikan yang saya minta!
Agaknya bayi kami pun menyambut semangat ayah ibunya dengan tidak susah dibangunkan. Saya menjadi bersemangat ketika bayi mulai mau menyusu, sedikit demi sedikit mulut mungilnya menyedot ASI, dengan iringan Doa Mulai Makan yang saya bisikkan bagai mantra. Bayi saya mulai menyedot dengan nyaman, membuat saya kegelian karena gesekan lidah bayi yang masih kasar.
Suami saya menatap bahagia melihatnya, sambil berbicara pada bayi, bahwa kami sangat menyayangi dia,  dan berharap kelak jadi anak salehah. Tapi, sampai hari kedua itu ASI saya belum keluar juga. Bahkan sampai malam hari, membuat saya sempat menangis di pundak suami, takut jika tidak dapat memberikan ASI karena tak keluar. Suami saya membujuk, masih ada hari esok untuk menjadi lebih bersemangat.
Esoknya, di hari ketiga, usai mandi dan sarapan, saya bersiap menyusui bayi. Tapi baru juga bayi ada di pangkuan, saya baru meyadari, bra saya terasa basah. Perasaan saya seperti melambung perlahan, berharap plus cemas sesuatu yang saya nantikan sejak lama akan saya dapat.
Benarlah, bayi saya seperti mencium bau yang dia amat kenali, dan seperti sudah hafal gerakan saya yang hendak menyusui dia, tak sulit baginya untuk mencari-cari puting dan menyedotnya dengan irama khas.
Allahu akbar, baru beberapa sedotan, bayi saya berhenti karena tersedak seperti terlalu banyak minum. Saya melihat ASI yang menetes dari mulutnya. Saya berteriak memanggil suami, dan menunjukkan momen bahagia itu. Suami saya tersenyum bahagia, mencium kening saya sambil berkata, ”Sekarang Mamah bisa menyusui sepuasnya!”
Saya sendiri belum yakin perkataan suami. Ada semacam ketakutan, bagaimana jika hanya untuk hari ini saja ASI keluar, bagaimana jika hanya sedikit produksi ASI, apakah bayi saya menyukai rasa ASI saya, dan pertanyaan lain yang menggoyang semangat saya.
Antara pasrah dan semangat, saya mulai menyusui bayi lagi, dan terulang, bayi saya tersedak, gelagapan, dan subhanallah ASI saya keluar deras seperti mata air mengalir deras.
Air mata saya menggenang, dalam hati tak henti bertasbih, Allah memberikan jalan bagi kami untuk memberikan makanan terbaik buat bayi. Wajah bayi yang tampak nikmat menyusui menghiasi benak kami, begitu bahagianya! 
Beginikah rasanya ibu dan bapak saat saya lahir? Beginikah rasanya menjadi ibu? Subhanallah. Terima kasih, nak. Engkau lahir untuk mengajarkan banyak hal bagi ibumu. Terima kasih, telah menjadi 'ibu'.(*)

1 komentar:

  1. baca postingan ini membawa aku kembali ke masa-masa yang sama. Kadang gak percaya kalo saya yang suka mengaku wonderwomen ini ternyata bisa mengalami baby blues. *lap keringet. Nice story mbak...

    BalasHapus