Sabtu, 07 Desember 2013

Satu Janji Tunai (4)

Esok paginya, seperti biasa, suamiku minta ijin jalan-jalan lihat suasana. Dalam perjalanan entah berdua atau sekeluarga, aku memberi ruang baginya untuk kegiatannya sendiri. Perlu buat travelwriter sepertinya, melihat sebuah tempat dari sudut pandangnya sendiri.
Kawasan Bugis masih diguyur hujan. Sementara perut kami sudah konser rindu nasi. Aku minta suamiku sekalian mencari sarapan buat kami.

Ketika ia pergi, aku merasa kami adalah sekelompok manusia primitif yang sedang menempati gua baru. Kepala keluarga dengan gagah berani pergi berburu mencari makan, sementara istri dan anak-anak menunggu di gua. Hihihi. Begitulah imaji selalu mengelilingi kami.
Ia pulang membawa daging buruan eh 3 boks styrofoam berisi nasi goreng porsi ekstra dan 2 lembar roti prata. Pagi itu keluarga manusia gua makan dengan lahap. Berhubung mata air sangat jauh, ibu manusia gua telah memasak air dan mendinginkannya. Bapak manusia gua lalu mengisi kantong-kantong air yang dikemudian hari dikenal sebagai botol, untuk bekal perjalanan pagi itu.
Ternyata khayalan masih berlanjut. Hihihi.

Setelah sarapan, kami melompati mesin waktu serupa air terjun yang bisa diatur panas-dingin. Yak, shower maksudnya. Mesin waktu itu membawa ke peradaban kini, karena acaranya adalah memberi pelajaran pada Odie-Kaka tentang perbandingan mata uang dolar Singapura dan rupiah Indonesia.
Untung aku masih menyimpan satuan mata uang rupiah lengkap. Begitu pula, hasil tukar uang dolar sehari sebelumnya cukup untuk menjadi alat pembelajaran. Ini berawal dari pendapat Odie-Kaka tentang harga-harga di Singapura yang murah-meriah.

Lollipop Kaka harganya 20ribu!
"Bayarnya cuma 2 lho, Pah!" Kaka menunjuk harga lollipop Hello Kitty yang dibelinya di 7eleven sebelah hotel.
"Iya, nggak ada yang seribu!" Timpal Odie.
Suamiku tersenyum dan mulai menjelaskan dari awal, ketika tiba di Changi, kami menukar sejumlah 500ribu Rupiah dengan 52 dolar Singapore. Nyesek sebenarnya hati dan mata ini. Tapi anak-anak belum paham nasib Rupiah yang sedang terpuruk.

Untuk memudahkan perhitungan, kami berasumsi S$1 setara dengan Rp 10.000,- dan terbukti Odie Kaka cepat memahami. Esensinya adalah perbandingan mata uang antar dua negara.
Dua anak itu lalu menghitung ulang belanja mereka sebelumnya. Makin pahamlah mereka kenapa kami berhati-hati membelanjakan uang saku yang tak banyak. Jika tidak begitu, bisa-bisa kami kehabisan uang!

Sambil membereskan bekas makan, suamiku berbisik, ia menghabiskan S$15 untuk nasi dan roti, setara hampir Rp 150rb. Lalu kami berdua tertawa kecil. Bersyukurlah kami, masih diberi nikmat dan cukup rezeki.

Menemukan Surga Buku
 
Pukul 9 pagi kami bergerak ke National Library Board (NLB) yang letaknya tak jauh dari hotel. Gedungnya kokoh. Dari luar lebih mirip hotel.
Di information desk suamiku bertanya ini-itu tentang literatur dan berujung meminta alamat e-mail untuk komunikasi selanjutnya.

Antre 5 langkah
Lalu kami melihat-lihat ruangan, dan sampailah di perpustakaannya. Seorang kakek-kakek meminta Odie Kaka untuk antre lima langkah dari pintu masuk yang masih tertutup. Rupanya kakek itu telah antre sejam jam sebelumnya. Perpustakaan dibuka tepat pukul 10. Aku lalu antre sambil mengawasi Odie Kaka yang naik turun eskalator.
Di pintu masuk, ada seorang pemuda menghadapi beberapa lembar kertas dan kotak-kotak mirip suvenir. Belakangan ketika keluar dari perpustakaan, aku mengisi lembar kertas itu dan mendapat suvenir cantik.

Tepat pukul 10, pintu dibuka, kami disambut staf perpustakaan yang berdiri sambil menyapa ramah, "Morning.."
Kami langsung menuju children literature, yang ruangannya didesain cantik. Ada rumah pohon di tengah-tengah. Digunakan untuk kegiatan mendongeng, muat menampung 25 anak-anak. Wuiiihh...serasa masuk surga!
Berasa masuk surga ya, Die!
(Bersambung)


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar