Rabu, 08 Januari 2014

LELAKI PEJALAN: FAJAR (2)



BERPISAH

13
Mengejar fajar menggelegar debar

            Jika mampu, aku memilih memulai perjalanan saat fajar. Agar lama memiliki waktu merekam jejak matahari. Juga tak perlu berlama-lama menunggu waktu melangkah tiba.
            Berpamitan menjadi saat berat. Sepertinya kakiku ditanam dalam tanah. Berurat, berakar.
Seharusnya pelukan mengalunkan irama jantung. Perlahan mencerabut beban. Tapi ia hanya memiliki debar bertalu-talu menghantamku bimbang.
Aku tak pernah menyukai perpisahan. Tapi apa harus kulakukan jika mundur begitu saja? Pasti akan jadi bisul yang tak pecah-pecah. Dan perempuanku pun tak akan suka. Baginya, langkah kebaikan yang sudah ditetapkan niat dan persiapannya, tak boleh dihentikan. Ia menitipkan percaya dalam debar jantungku.
*


14
Butuh percaya untuk memulai langkah

Bukan sia-sia Tuhan menciptakan rasa percaya. Perekat dua pribadi berbeda, penawar endemi curiga.
Saat merasa cocok, sepasang manusia mengatasnamakan sehati-sejiwa. Tapi kadang cemburu mengacak tatanan bunga di taman hati. Siapa di antara dua manusia itu dapat menolak? Tuhan menghadiahi cemburu karena mereka mengaku saling memiliki. Sekaligus memberi jarak untuk sendiri, walau tak sampai benci. Kepercayaan bukan harga mati. Tapi kadang tak bisa ditawar-tawar.
*


15
Makhluk ajaib adalah kamu
peta tak bertepi.


Ajaibnya lidah, hati dan otak. Tanpa tulang keras. Tapi mampu menghunus, menusuk dan menebas jaring yang menghadang.
Seperti aku dan perempuanku. Kami meliuk di antara akar-akar sang waktu memilin pagi dan senja. Sering tanpa harus memahami langkah. Alasan yang sama, sebab percaya hingga sumsum tulang dan merah darah.  
Aku memercayakan hatiku, tanpa pernah bertanya. Begitu pun langkah, terpatahkan kata-katanya, yang tak terduga. Barangkali ada banyak tusukan yang membuat kami terluka. Tapi ada banyak obat penawar yang berhasil kami racik.
Pada hening di bawah langit gelap, kami melihat seberapa dalam luka.
*


16
Takut adalah saat memutuskan tanpa dapat bertanya

"Tahukah kau rahasia kecil yang kusimpan sia-sia? Sebab tak pernah jadi rahasia di depanmu," tanyaku suatu kali. Perempuanku menggeleng dalam heran.
Andai ia tahu...
Berjalan sendiri memang melegakan. Saat awan memayungi, alangkah ringan langkah! Pun gerimis yang merintangi jalan, kutepuk lembut berkecipak. Gelap yang menyambut tidak menyurutkan langkah.
Tapi tersadar sendirian saat memutuskan, itu yang kutakutkan. Tak dapat segera bertanya pendapatnya. Atau melihat langsung senyum dan kerut keningnya.
Lalu perempuanku akan berkata setelah aku berkisah, "Kau punya Yang Dapat Kautanya, jauh lebih siap dibanding aku."
*

17
Silakan buat jejak sendiri
cukup buatkan tanda
agar dapat kuikuti.

Setiap kekasih selalu ingin berdekatan. Agar tercukupi seluruh rasa. Tapi peristiwa-peristiwa kadang menjauhkan. Bahkan dalam jarak lama.
Beruntunglah aku memilikinya, tak sulit juga tak mudah mendapat persetujuan. Syarat cuma satu: memberi jejak.
Itu pun tak mudah. Ia sangat tahu. Tapi aku berusaha memenuhinya. Bukan agar ia selalu mengiyakan peta. Semata agar tenang perjalanan dan penantian. Sebab setiap kekasih selalu ingin berdekatan, meski sekadar kabar.
*

3 komentar: