Rabu, 23 April 2014

Blusukan di Siak dan Kisah Pulang

Hari ketiga di Siak, kami diajak bu Hera Yulwita, Kepala KPA Kab Siak, mengunjungi salah satu perpustakaan desa di Perincit, kecamatan Pusako, Siak, Riau. Berasa blusukan, dengan mendatangi pelosok Siak:)

Di Perincit, telah menunggu anak-anak SDN Perincit dan masyarakat di balai desa. Yang menyegarkan, anak-anak itu berbaju pramuka yang warnanya masih cerah seperti baru. Kupikir mereka berusaha tampil sebaik mungkin menerima tamu.
Murid-murid SDN Perincit, Pusako, Siak, Riau.

Kami bersemangat karena senyum anak-anak dan guru-guru yang mendampingi. Beberapa kali bu Hera menekankan bahwa kami adalah tamu dari Jakarta, yang telah berkenan mampir ke desa mereka dan ingin menyebarkan semangat membaca. Haduh, ingin sembunyi di bawah tudung saji jadinya :D

Begitu saktikah kata "Jakarta" bagi anak-anak itu? Entahlah. Tapi aku sering bersirobok dengan anak-anak yang menatap kagum. Aku cuma bisa tersenyum yang membuat mereka menunduk malu. Kutekan semua kesombongan sebagai orang "Jakarta", karena memang kami tidak tinggal di ibukota.
Diam-diam aku berharap bisa memberi satu dua kalimat penyemangat bagi anak-anak itu. Dan begitu ada kesempatan bicara, aku berpesan pada salah satu pengelola perpustakaan desa, bahwa kegiatan sederhana pun dapat memikat anak-anak untuk berkunjung.

Kepada anak-anak itu, kucoba menularkan kegemaran membaca, karena dengan bukulah aku bisa datang jauh-jauh menemui mereka. Ah, nak, semoga kehadiran kami yang hanya beberapa jam ini dapat menggerakkan motivasi kalian untuk mencintai buku!

Mas Gong, Kades Perincit, bu Hera, mas Heru.
Dari balai desa kami berkunjung ke perpustakaan desa Penghulu Ibrahim. Dinamakan begitu sebagai terima kasih kepada keluarga besar Penghulu Ibrahim, yang telah menyediakan sebuah rumahnya digunakan sebagai perpustakaan desa.

Sebuah perpustakaan desa yang sederhana, model rumah panggung rendah, berbahan kayu, tanpa furniture selain meja bundar di tengah ruangan. Mas Gong menanda tangani buku-bukunya dan anak-anak berebut ikut minta tanda tangan di notes atau tas suvenir dari Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Siak.

Aku mengamati mereka dan menangkap beberapa anak mendekati mas Gong. Diam-diam pandangan mereka memerhatikan tangan kiri suamiku yang hanya sesiku. Saat bicara di balai desa tadi mas Gong menceritakan penyebab amputi tangannya. Dan aku yakin penjelasan itu tidak menghentikan keingintahuan anak-anak itu lebih lanjut.
Mas Gong tanda tangan di tas anak-anak.

Siang itu kunjungan ditutup dengan hujan di Perincit. Udara segar di kampung tengah kebun sawit ini. Mobil yang kami tumpangi melaju ke Sungai Apit, kampung halaman bu Hera.
Di Sungai Apit (Sei Apit) kami makan siang di salah satu warung makan. Berbagai jenis masakan dari bermacam ikan sungai. Nikmatnyo! Gerimis membuat makan siang lebih nikmat!
Bada Ashar, kami ada acara pelatihan alat peraga pendidikan dari bahan kardus bekas bersama pengelola PAUD.

Peserta diajak memanfaatkannya menjadi buku berisi gambar-gambar dan tulisan. Gambar-gambar dibuat timbul dari bahan kardus. Dengan buku buatan sendiri, para guru PAUD dapat mengajak anak didik usia dini mempelajari hal-hal yang ada disekelilingnya dengan melihat, meraba dan membaca. Sehingga kemampuan belajar anak-anak lebih tereksplor.
Pengelola PAUD sebelum mengikuti workshop.

Malamnya, kami mencoba menikmati kota Siak sendiri, tanpa diantar-antar panitia. Dari hotel kami jalan kaki, di bawah sisa-sisa gerimis. Tujuan kami ke arah kanan hotel, menuju Turap.

Suasana sepi melingkupi taman di tepi Sungai Siak. Mungkin hujan yang sore tadi mengguyur membuat warga malas keluar rumah. Kami memilih kursi tepat di tepi sungai. Tapi angin begitu dingin di situ dan penerangan kurang. Aku minta pindah ke deretan kursi yang lebih dekat jalan, karena lebih terang.

Seorang pedagang yang memilki kios di seberang jalan menghampiri dan mengeringkan kursi dengan selembar lap. Hasilnya kurang memuaskan, kursi tidak kering betul. Tapi ya sudahlah, toh kami punya tempat duduk untuk meneruskan obrolan. Suamiku senang berdiskusi dan aku suka mendengarnya. Tema obrolan kali ini tentang pedagang makanan. Kami banyak bertanya, asal-usul kedatangannya ke Siak. Mulai awal dagang, hingga sekarang sukses. Bahkan anak sulungnya dipindahkan sekolah ke Siak. "Soalnya sekolahnya gratis," kata si bapak senang. Wow yah!

Kami lalu memesan baso dan teh tarik. Minuman ini mengingatkanku pada minuman chai sewaktu di India. Whuaaa...jadi pengin ke sana lagi:D Teh tariknya lumayan enak. Tapi bagiku, chai terenak tetap di India, rasa susunya lebih kuat.

Hendak pulang ke hotel, aku sudah malas jalan kaki. Badanku mulai meriang. Suamiku lalu mencari ojek. Pedagang itu menyuruh anak sulungnya untuk mengantar. Lalu bertiga kami naik satu motor. Aku duduk paling belakang. Dan sampai hotel listrik mati. Entah hotel belum punya genset, atau karena tamu sedikit biar irit, selama berjam-jam lampu mati. Akhirnya suamiku membuka jendela agar kamar tidak pengap. Tapi nyamuk memburu masuk. Wah, derita banget! Untunglah aku bawa losyen anti nyamuk. Bye bye nyamuk! Hihihi... Bawaanku lengkap ya? Tadinya malah mau bawa raket elektrik anti nyamuk! Hahaha...

Terhindar dari nyamuk, aku ganti pening dan bersin-bersin. Untunglah bawa obat flu, jadi malam itu pening kepala segera hilang dan aku tidur pulas. Packing kilat saat subuh, karena kami berencana ke Pekanbaru menggunakan speedboat, menyusuri Sungai Siak. Jadwal boat paling pagi pukul 7, jadi kami harus check out pukul 6 dan mengejar waktu ke pelabuhan.

Untunglah office boy hotel bersedia jadi ojek. Butuh dua ojek karena masing-masing kami membawa backpack, plus satu dus buku. Sampai pelabuhan boat belum datang. Asyik, bisa foto-foto dulu :)
Di tepi Sungai Siak, Riau.

Oh ya harga tiket ke Pekanbaru Rp 80.000,- per orang. Dan kabar baiknya, agen tiket bisa mencarikan travel menuju bandara. Sip, sip! Kami bisa menikmati perjalanan menyusuri Sungai Siak dengan tenang. Dua jam perjalanan tuntas sambil menikmati pemandangan deretan bakau, cerobong asap pabrik kertas, halte-halte pemberhentian penumpang di sepanjang sungai, lambaian pengantar, cekikikan penumpang yang hendak berpisah dengan keluarganya, dan sesekali berselisih jalan dengan kapal tongkang.
Sepertinya nggak muat lewat ya :)

Cara menikmati wafer. Kerok abis coklatnya.
Aku juga sempat ngemil wafer, dan menunjukkan beberapa cara memakannya. Ada yang dari ujung, langsung gigit separo, dibuka tiap lapisnya, dijilat coklatnya dulu, atau malah direndam dalam air biar 'umes'. Eh ini airnya air mineral gelasan lho ya! Bukan air sungai Siak :D

Tentunya tip terakhir tidak untuk dicontoh. Itu cara bagus bagi penderita sakit gigi yang ingin menikmati wafer. Jadi langsung telan juga bisa. Hehehe
Halte di sungai.

Di perjalanan sering muncul kegilaan kecil yang mencerahkan otak. Aku lebih suka memeliharanya karena dari situ muncul ide-ide baru. Untungnya suamiku sudah paham, jadi memberiku ruang berpikir kreatif. Karena aku pun begitu, bersedia mendengar ide-idenya yang kadang jauh lebih gila :D





Ini interior speedboatnya.
Alhamdulillah perjalanan sampai Pekanbaru lancar, naik travel Rp 70.000,- sampai bandara SSK II, terbang ke Soetta, naik travel menuju rumah. Tapi di KM 25 mobil travel mogok :| sejam kami menunggu travel pengganti. Aku sih tidur aja selama menunggu karena pengaruh obat. Iya, obat flu tapinya :D hihihi.

Anak-anak sudah sibuk menelepon berulang kali menanyakan posisi. Kami jadi stress juga karena hari mulai sore. Untunglah ada travel lain yang mau menampung dua penumpang merana ini.

Takut kehabisan waktu, kami sempatkan sholat jama' Dhuhur-Ashar di perjalanan. Dan karena status nebeng, daripada dijutekin penumpang lain yang bertujuan Cilegon, kami minta turun di tepi jalan besar, tidak usah masuk jalan kampung. Kasihan penumpang lain jadi lebih lama mengulur waktunya. Dari jalan besar kami naik ojek, pulang ke rumah sederhana kami.

Dan sesederhana apa pun, rumah adalah tempat nyaman yang hangat dengan pelukan dan ramai dengan suara anak-anak.

(Selesai kisah perjalanan di Siak-Riau)



@tiastatanka





























3 komentar: