Kamis, 12 Februari 2015

BADUY 1 : HATI YANG TEROMBANG-AMBING


Sejak awal aku tahu ini akan jadi perjalanan berat. Lebih berat daripada trip tahun 2012 bareng suami. Destinasi ini masih seprovinsi. Hanya dipisahkan bukit-bukit dan gunung. Jalanannya tanah, batu dan sungai. Tanah jadi lumpur jika hujan, dan rezekiku menemuinya sepanjang jalan.


H-7

Seminggu sebelum berangkat aku masih bimbang. Tiga gigiku sakit bersamaan, mata kaki kananku baru sembuh dari bengkak. Sendi kaki kiri belum fit sempurna dari salah urat. Ditambah ketidakpastian izin suami. Ia masih tarik-ulur dengan berbagai alibi. Anak-anak kami yang masih SD pasti keberatan, cuaca hujan dan Baduy tengah menjalani ritual hari raya Kawalu.

Aku berusaha tenang, melihat berbagai kemungkinan. Bimbang dan keinginan pergi sama-sama kuat menguasai pikiran dan hati. Tapi yang pasti aku tidak ingin menjadikan perjalanan ini sebagai pembuktian dan kesombongan belaka. Disengaja atau tidak, naluri pejalan selalu muncul dua elemen itu. Jika ari awal sudah muncul, berarti peringatan siaga level tinggi.

H-3

Tiga hari sebelum hari H aku mantap untuk ikut. Pertama yang kulakukan adalah menetralisir kecemasan dua anak terkecil, Odie dan Kaka. Kukatakan Baduy tidak jauh, hanya dua hari bepergian, dan masih ada ayah mereka yang akan tinggal di rumah. Kaka yang khawatir tidak bisa tidur kusarankan memeluk baju bekas kupakai. Dengan begitu selama tidur ia masih mencium bau emaknya. Hihihi…

Aku mulai bersiap, sambil menata pekerjaan dan urusan rumah tangga selama dua hari pergi. Asisten rumah tangga kuminta untuk masuk di hari Ahad, agar ada yang menyiapkan makanan. Apalagi hari Ahad adalah jadwal kelas menulis, biasanya suamiku akan sibuk mengajar dan tak sempat memasak sendiri.

H-1

Bimbang datang lagi ketika malam keberangkatan anak bungsu kami, Kaka merengek agar aku tak usah ikut. Ia terus menangis, merengek, menangis, merengek, dengan volume naik turun, mengiringiku  packing. Aku hanya tersenyum dan menghiburnya, minta maaf kali ini harus pergi dulu sama kakak sulungnya.

Selesai packing aku ganti memeriksa persiapan sulungku. Ternyata ia tengah kebingungan mencari backpack yang akan dipakai. Padahal sebelumnya ia telah meminjamkan dua buah backpack pada sepupunya. Akhirnya ia memakai backpack adiknya. Masalah muncul saat kantong tidurnya tidak muat. Semula akan diikat saja di luar backpack, tapi sangat tidak praktis. Jadi kutampung di backpackku yang masih muat.

Ketika hendak memasukkan sleeping bag, aku menemukan secarik kertas bertulis tangan khas Kaka diletakkan di atas backpackku. Kulihat bungsuku sudah tidur nyenyak. Aku tersenyum membaca suratnya: “Mamah jangan ikut, kalau Mamah tidak jadi ikut, Kaka janji nggak nakal lagi.”

Kuberitahukan pada suami surat itu. Ia pun menyarankan agar aku menunda rencana ke Baduy.
“Nanti sajalah, sama Papah,” katanya membujuk.

Aku menatapnya tersenyum, “Delapan belas tahun lalu Papah pernah bilang begitu, dan belum terlaksana juga. Kapan lagi kalau nggak sekarang, Pah? Aku sudah empat puluh empat tahun, mau nunggu sampai umur berapa?”

“Oh, ya sudah, ya sudah, Mamah tetap jalan aja, anak-anak biar sama Papah,” katanya bijak. Aku tersenyum senang mendengarnya.  

Hari H

Pukul empat pagi suami membangunkanku. Aku tak berani mandi sepagi itu dengan air dingin, mengingat tidurku semalam amat kurang karena sibuk packing. Jadi kuseka badan dengan handuk kecil yang dibasahi air dan sabun cair. Ini juga menyiapkan diri sendiri agar siap jika dua hari mendatang tidak mandi.

Putri sulungku rupanya sudah siap lebih dahulu. Rencananya kami akan berangkat bersama relawan Rumah Dunia yang menjadi panitia trip ke Baduy ini. Tapi urung, karena Odie dan Kaka bangun. Mereka berkeras ingin ikut mengantarku ke stasiun Serang. Jadilah suami dan anak-anak terkecil mengantarku naik mobil, sementara putri sulung kami berangkat bersama panitia.

Kami berkumpul di depan Stasiun Serang. Setelah briefing travel writing bersama mas Gong, kenalan dengan peserta lainnya, kami berangkat. Aku cium tangan suami dan memeluk tubuh besarnya.

“Titip anak-anak ya, Pah!” kataku memeluk Odie dan Kaka.
“Mamah hati-hati ya,” suamiku menatap penuh arti. Aku tahu ia mengkhawatirkan kesanggupanku berjalan. Masih terngiang ucapannya ketika aku minta izin ikut trip ini.
‘Bagi yang tak biasa tracking, jalan ke Baduy bisa bikin frustasi.’

Aku sudah membuktikan sanggup menemani perjalanannya puluhan hari ke tujuh negara. Tapi memang jalurnya bukan seperti yang akan kuhadapi, naik-turun bukit berbatu. Trip kali ini benar-benar menuntut stamina fisik terjaga.

Sedangkan bagiku, ini pertarungan antara fisik dan psikis. Fisik dengan gangguan gigi dan sendi kakiku. Psikis adalah keinginan menjajal kemampuan menyandang beban di usia lebih dari empatpuluh tahun. Begitu sulit mengelak dari pertarungan ini. Mungkin tak ada yang menyadarinya, sebab cuma akulah penonton sekaligus pelakunya.

Menghindar dari keinginan membuktikan pada diri sendiri itu amatlah sulit. Aku harus mengalahkan ego bahkan sedari keluar rumah. Satu-satunya jalan untuk meredamnya adalah dengan sibuk zikir.

(Bersambung)

5 komentar:

  1. Bagi yang tak biasa tracking, jalan ke Baduy bisa bikin frustasi.<<< aku nerasakan hal itu. Xixixi

    BalasHapus
  2. salah satu destinasi impian saya, mudah2an suatu saat akan kesana :)

    BalasHapus
  3. Ceritanya asyik mba, di tunggu kelanjutannya.

    BalasHapus
  4. Waw, terombang ambing. padahal di Baduy gak ada ombak. hehehe

    BalasHapus
  5. Belum kesampean ke baduy..ceritanya menarik mba sebelum menginjakan kaki di sana

    BalasHapus