Minggu, 09 Oktober 2016

Blind Traveling

Mumpung ada kesempatan,  mengajari traveling naik moda transportasi darat ke anak-anak. Menggunakan quality time sebaik-baiknya,  selama kami masih bisa melakukan.
Rencana harus dibuat, tapi tidak begitu detil. Berisiko memang,  mengingat anak-anak sudah nyaman naik kendaraan pribadi. Saya sudah membayangkan akan ada protes capek,  lapar, bau, berisik dan sebagainya. Belum lagi kepastian rute dan transportasi, termasuk jadwal berangkat.
Setelah yakin kondisi kami fit, rencana yang sudah disusun lama siap dilaksanakan. Kebetulan ada momen kondangan salah satu relawan #RumahDunia di Karawang. Bismillah, insyaa Allah siap bepergian.
Selalu ada perubahan di itinerary yang fleksibel. Semula tujuan awal stay di Bogor atau Karawang. Tapi saya agak ragu jika di kota hujan tanpa berkendaraan pribadi. Terbayang gonta-ganti angkot sambil manggul backpack. Opsi terbaik sepertinya adalah Karawang,  apalagi setelah browsing tujuan wisata alami di sana. Ke tempat kondangan (masih di wilayah Cikampek) juga tidak jauh. Rencana tetap harus dibuat,  meski pelaksanaannya dikembalikan pada ketentuan-Nya.
Akhirnya saat antri tiket hari itu untuk kereta jurusan Cikampek di Stasiun Kota Tua,  Golagong New putar haluan. Betapa tidak? Seratusan orang telah duduk di lantai stasiun,  membentuk antrean panjang dan mengular puluhan meter! Padahal loket baru dibuka sejam lagi. Kereta berangkat satu jam setelah loket buka. Kami berhitung kemungkinan waktu yang dihabiskan untuk mendapat tiket. Setiap calon penumpang harus mengisi formulir pemesanan, lalu menunggu proses bayar dan cetak tiket. Kira-kira per tiket perlu 3-4 menit untuk diproses. Kalikan saja dengan seratus orang, asumsinya setiap orang beli satu tiket. Ada dua loket yang melayani. Tambah lagi kami belum makan siang. Dengan hitungan kasar, kami putuskan tidak dapat mengejar waktu keberangkatan sore itu. Pilihan menginap di Karawang pun mulai sirna.
Mengingat kesehatan saya yang sempat drop beberapa hari sebelumnya, hubby menawarkan menginap saja di kawasan Kota Tua.Anak-anak sih setuju, alasan yang membuat saya bersepakat. Meski agak khawatir juga karena saat browsing penginapan di dekat Kota Tua via online sudah penuh.
Setelah piknik sebentar di tengah gerimis di kawasan Kota Tua,  kami hunting penginapan dengan jalan kaki. Hubby lumayan hafal jalanan Jakarta, jadi saya pasrah saja sebagai followernya. Sampailah ke hotel T yang colourful, tempat sama yang saya browsing sebelumnya. Saya berharap jika pesan langsung masih ada kamar. Apalagi harga per malam masih masuk dalam budget kami.
Tapi apa daya. Ternyata hotel penuh.  Padahal anak-anak suka sejak pertama masuk, apalagi ada noni bule cantik yang senyum-senyum ke arah kami. Kami pun bersiap cari hotel lain, dan berlabuh di The Plaza Hotel di kawasan Pinangsia. Alhamdulillah bisa rehat semalam menyandarkan lelah dan kantuk. Malam minggunya kami habiskan lagi di Kota Tua,  tapi hanya sebentar karena gerimis memburu serupa hujan. *tsaah*
Pagi ini memburu kereta ke Cikampek, untuk kondangan om Muhzen Den dan Lina Astuti. Semoga masih kebagian makanan. Hehehe. Udah kebayang kondangan bawa backpack dan badan bau matahari.
Ini blind traveling pertama buat Jordy Alghifari dan Natasha Azka. Sebelumnya sudah sekian kali dilakukan saat Nabila Nurkhalishah dan Gabriel Gee masih balita dan belum punya adik. Bukan saran yang harus dilakukan,  karena bergantung kesiapan ortu dan anak. Juga situasi dan kondisi.
Yang jelas,  banyak hal diperoleh dari perjalanan tak menentu model ini.
Bersusah payah antre tiket, bertemu banyak orang dengan banyak profesi, jalan kaki dari stasiun kota, belajar transaksi,  naik bajaj berempat, wawancara dengan supir bajaj, sarapan di Terowongan Penyeberangan Orang (TPO), kedekatan sebagai keluarga dan masih banyak lagi.
Dalam kereta ekonomi lokal,  9 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar