Jumat, 22 September 2017

Generasi Jaguar (1)

SEBUAH IHWAL

        Hal yang paling menakutkan adalah mendengar ide suami yang “nyleneh”. Jika idenya biasa saja saya juga akan menanggapi dengan biasa. Tapi kalau idenya tidak biasa dilakukan orang, itu yang membuat saya takut.
Sebenarnya ketakutan saya itu lebih pada menghadapi tantangan selama ide itu dijalankan dan pandangan masyarakat umum terhadap langkah kami. Beruntung suami sangat hati-hati memaparkan idenya, setahap demi setahap sehingga saya bisa berpikir jernih. Meski didera ketakutan yang tidak ketahuan juntrungannya, saya mencoba memikirkan semua aspek ide tersebut.
Seperti suatu sore di bulan Mei 2017. Sambil rebahan di lantai ruang tengah, suami berkata, “Kita mudik sekeluarga, yuk!”
Mudik bagi saya adalah peristiwa mewah mengingat jarak hampir setengah Pulau Jawa harus kami tempuh. Belum lagi biayanya, bagi kami yang bukan golongan bergaji tetap ini harus disiapkan jauh-jauh hari. Tapi ajakan suami amat menggoda. Anak-anak pun akan suka bertemu Eyang dan semua saudara di sana.
“Serius?” kejar saya menunggu jawaban.
“Iya, hayulah, sambil keliling Jawa, satu bulan. Sambil memberi pelatihan menulis dan jualan buku. Biayanya dari situ.”
Saya terdiam. Ini bukan hal aneh kami bepergian untuk mengisi sesi pelatihan menulis dan berdagang buku terbitan Gong Publishing. Tapi satu bulan, itu lama sekali.

“Anak-anak sudah besar, saatnya mereka dilibatkan dalam pekerjaan. Kita didik mereka agar memahami pekerjaan orangtuanya, sekaligus merasa punya jasa untuk keluarga. Kita bentuk mereka menjadi generasi yang kuat dan mandiri, seperti…” suami berpikir dan mengingat-ingat.
“Yakin mereka mau selama itu traveling?” saya masih sangsi.
“Jaguar!” suami menatap saya seperti telah menemukan sebuah fenomena, tidak peduli pertanyaan saya. “Anak-anak harus punya jiwa dan raga kuat. Seperti Jaguar. Tapi anak-anak juga harus punya akhlak baik. Kita yang harus mendidik mereka. Kita namakan Generasi Jaguar!”

***

“Apaan sih, Papah? Malulah, nggak mau ah…”
“Nanti dibilang niru-niru Gen Halilintar…”
“Aa di belakang layar aja.”
“Itu sih terserah kalian, Papah nggak akan memaksa. Tapi sepanjang Gempa Literasi ini, Papah akan memulai setiap kunjungan pelatihan dengan membaca puisi. Entah sama Mamah, atau dengan Odie. Atau Azka dengan Mamah. A Gabriel bisa tampil juga ngerap.”
Tapi anak-anak bergeming. Masih banyak lagi komentar anak-anak ketika kami mengajukan konsep Generasi Jaguar. Bayangan mereka sama seperti saya: sebuah kegiatan yang menakutkan karena menuntut kami tampil dan bicara.
Bagaimana tidak. Selama ini yang aktif bicara di depan umum cuma saya atau suami. Tapi untuk kegiatan traveling selama satu bulan ini anak-anak diminta untuk menampilkan pertunjukan yang mereka mampu lakukan. Saya membayangkan jika si sulung hadir, ia pun akan memikirkan ulang ide ayahnya.
Tidak ada dari kami yang menyetujui begitu saja ide suami. Bukannya berhenti atau merevisi, idenya malah semakin mekar dan bertambah ragamnya. Saya dan anak-anak menyimak dan terdiam.
“Aa Gabriel kan bisa ngerap, tunjukkan itu. Aa Odie menangani dokumentasi, promosi dan publikasi di sosial media. Dedek Azka bagian jualan buku. Sebelum mulai pelatihan, nanti ada baca puisi dulu. Papah, Mamah, gentian baca puisi. Odie dan Azka juga ikut baca. Aa Gabriel bikin lagu khusus buat jingle Generasi Jaguar. Juga desain backdrop.”
Sepintas tampak seperti instruksi. Tapi sebenarnya itu usulan yang bisa saja diperdebatkan. Anak-anak diam-diam mengajukan keberatan melalui saya. Alasan mereka belum siap, jam terbang tampil belum sebanyak orang tuanya. Tapi tak ada yang mengatakan ayahnya otoriter. Sebenarnya  anak-anak tahu diskusi masih terbuka, hanya mungkin sungkan dan tak sampai hati merusak rencana indah ayah mereka.
Alih-alih membela kepentingan anak-anak, saya malah memikirkan ide suami. Pendidikan Generasi Jaguar macam apa yang akan kami terapkan buat anak-anak, sekaligus menginspirasi orang banyak?
Jaguar. J-A-G-U-A-R. 

Jantan, andal, gagah, unik, aktif dan responsif. Tentu tak hanya sekadar singkatan. Lalu apa penjabarannya?
Jantan. Bisa berarti berani karena benar. Berani mengakui kekalahan dan kesalahan. Berani membela yang lemah. Bisa berarti jujur.
Andal. Dapat diandalkan membantu siapa pun yang memerlukan.
Gagah. Anak-anak harus sehat jiwa raga. Mereka harus rajin olah raga. Dengan demikian mereka akan dapat mengenal tubuhnya sendiri.
Unik. Saya percaya tiap anak memiliki keunikan tersendiri yang menjadi kekuatan hidupnya. Orang tua harus menerima setiap keunikan anak-anaknya, sebab unik berarti istimewa.
Aktif. Tidak boleh hanya menjadi penonton di tengah perkembangan zaman. Mereka harus berperan aktif dalam kegiatan sekitarnya, di mana pun dan bekerja sama dengan siapa pun.
Responsif. Anak-anak harus belajar untuk tanggap terhadap permasalahan sekitar. Mungkin belum bisa menyodorkan solusi, tapi minimal mereka punya empati terhadap orang lain terutama di sekeliling.
Di mana konten spiritualitasnya? Dari singkatannya tidak ada bau islami sama sekali. Well… Jika ditilik dan direnungkan lebih dalam, bukankah itu nilai-nilai akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW juga? Akhlak islami yang juga bisa diterapkan secara universal.
Buat kami, perihal kegiatan spiritualitas lebih penting menanamkan kesadaran akan kebutuhan mendekat pada-Nya, sebab telah dianugerahkan segala sesuatu pada kami. Insyaa Allah cara ini lebih efektif dibanding menakut-nakuti anak-anak dengan siksaan neraka.
Kami harap dalam diri anak-anak dapat tertanam keinginan, kebutuhan, kesadaran untuk selalu dekat Sang Maha Pencipta, bahkan untuk sekadar bersyukur atas hal-hal kecil. Saya pun berusaha tidak canggung untuk mencontohkan sujud syukur saat mendapat kenikmatan sekecil apa pun. Misalnya ketika sedang mencari kacamata yang entah di mana. Tiba-tiba kacamata ketemu, segera saya mencari tempat bersih untuk sujud syukur.  (Bersambung)
Rute Gempa Literasi Generasi Jaguar


4 komentar:

  1. Sungguh menginspirasi mbak, semoga Gempa literasi generasi jaguar berlimpah barokah.

    Penasaran sama sambungan kisahnya...

    BalasHapus
  2. Jadi membayangkan keseruan dan keriwehannya Mba. Berdua aja suka riweh Yo. Opo meneh rombongan.. Hehehe..tapi seru itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. didoakan semoga segera berpasangan, lalu berketurunan, mba sayang..

      Hapus