Minggu, 24 September 2017

Generasi Jaguar (3) Langkah Awal Selalu Mengejutkan

             Pagi hari, Jumat, 30 Juni 2017. Bertempat di pendopo dalam Rumah Dunia, kami sarapan bersama. Menunya nasi uduk dan lauk goreng. Sehari sebelumnya Odie sudah memesan 25 bungkus nasi uduk di warrung Bi Sariyah, langganan kami.
            “Biasanya Mamah yang pesan-pesan begini,” cetus Odie saat saya minta tolong memesan nasi. “Jadi kalau ada yang habis atau nggak ada, bisa ganti beli yang lain.”
            Saya tersenyum, mengerti maksud anak ketiga kami itu. “Iya, A. Tapi sekarang Mamah lagi sibuk-sibuknya packing. Jadi, apa pun yang Aa bisa pesan untuk besok, silakan. Terserah Aa yang memutuskan, kalau nggak ada ini ya pesan itu.”
            Jadi introspeksi buat saya, barangkali bagi orang lain saya tampak perfeksionis. Meski saya sendiri tidak merasa begitu, tapi keraguan Odie melakukan permintaan saya telah membuat saya seperti diperingatkan.
            Astaghfirullah. Harus banyak istighfar, mungkin selama ini tanpa sadar saya sudah menuntut terlalu banyak dari anak-anak. Teringat saat saya memberi tugas dan mereka keberatan, saya akan keukeuh tidak beranjak sampai mereka bersedia menjalankannya.

            Insyaa Allah sekarang saya hanya menerapkan sikap keukeuh itu untuk urusan sholat dan mengaji, dua hal yang menurut saya maha penting bagi kehidupan anak-anak. Urusan lain, saya masih bisa menerima negosiasi.

***
            
Foto bersama sebelum berangkat.


               Menuliskan bagian ini sebenarnya amat sulit bagi saya. Air mata mudah menetes mengingat begitu banyak kebaikan teman-teman dan keluarga yang datang mendoakan, mengantar keberangkatan kami, bersedia diamanahi untuk menjaga rumah dan tak keberatan tetap melanjutkan kegiatan Rumah Dunia.
            Semua bisa terjadi. Bisa saja pagi itu menjadi pertemuan terakhir kami. Maka kami berpamitan dan memohon maaf atas semua kesalahan, mohon didoakan agar sehat selamat sampai pulang kembali ke rumah.
            Doa yang dipanjatkan emak mertua seperti menyuruh saya mengingat tujuan sebenarnya dari traveling ini. Saatnya  meluruskan niat, membuang ketidakikhlasan dan merendahkan diri di hadapan-Nya.
            Weeew… Sepertinya ribet banget hidup saya ya, segala sesuatu dikembalikan pada-Nya. Semacam ada ketergantungan absurd, ketakutan khayali dan ketidakbebasan karena terikat menjalankan ritual ibadah.
            Tapi, saya membutuhkan itu semua untuk menjaga keseimbangan hidup dan hari-hari saya. Lupa saja sesaat, saya merasa galau. Misal melewatkan sholat karena terbentur kesibukan, rasanya saya sudah mengingkari janji yang berujung kematian. Duh, takut dan menyesal bukan main.
Bandingkan dengan saat saya menunaikan semua kewajiban, hidup terasa amat tenang. Mungkin saya berhak merajuk saat berdoa minta ini-itu. Kalau ibadah lewat, saya malu mau minta sesuatu. Jangankan minta rezeki banyak supaya bisa ganti laptop, ingatnya malah minta besok pagi masih hidup aja, biar bisa mengganti kewajiban terlewat.
Pokoknya begitulah, saya menerima segala urusan ribet itu kalau berurusan dengan-Nya. Hahaha. Ini pula yang selalu saya bawa-bawa ke rumah. Menanamkan ke anak-anak tentang kebutuhan dekat pada-Nya, bahwa makin mendekat kita, Dia jauh lebih dekat. Urat leher saja kalah dekatnya. Pusing kalau dipikirkan, maka saya meminta anak-anak merasakan saja efeknya.
Begitulah. Dengan doa teman-teman, emak mertua dan ibu saya di Solo sana, kami memulai perjalanan. Sebisa mungkin saya menahan air mata, berusaha meyakinkan diri sendiri kami akan pulang kembali.
Pukul sembilan pagi kami berangkat. Daaan…ternyata barang bawaan banyak banget! Maklumi saja, sepertiganya adalah dagangan buku. Hehehe. Saya menyabarkan si bungsu yang mengeluh karena harapannya sirna. Semula ia meminta jok belakang bisa dikuasainya untuk tidur. Saya dan Odie di jok tengah. Di depan adalah suami dengan Gabriel sebagai navigator dengan google maps di tangan.
“Maaf ya, Dedek. Sabar ya, sementara begini dulu, nanti kita atur lagi di jalan,” suami saya melirik lewat spion atas. Saya memeluk si bungsu yang masih cemberut.

Diiringi lambaian keluarga dan teman, dan dikawal dua motor anggota Motor Literasi, kami bergerak menuju pintu tol Serang Timur. (Bersambung)

2 komentar:

  1. Huaaah...ikut terharu. Selalu begitu kalau mengawali dan mengakhiri perjalanan Yo Mba. Ada yang terasakan di hati. Biasalah.. perempuan..hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. TAk kuasa aku menuliskan semuanya... mbrebes mili terus... ^_^

      Hapus