Selasa, 26 September 2017

Generasi Jaguar (5) Stasiun Cirebon dan Empal Gentong

        Sore harinya kami jalan ke stasiun Cirebon. Ini bagian dari mengenalkan lingkungan sekitar, di mana pun berada. Anak-anak sudah tahu apa yang akan dilakukan, memotret landmark dan belajar sejarah tempat tersebut.
Suami saya adalah orang yang sangat bersemangat soal ini. Ke mana pun kami pergi, ia akan mengajak untuk menjelajahi sekitar. Jika ada cerita sejarah terkait, dengan bersemangat akan diceritakannya untuk kami. Sudah banyak tempat terutama di Pulau Jawa yang didatanginya sejak lajang, sih. Jadi kadang kami bertanya ‘tempat mana saja yang belum dikunjungi’, bukan yang sudah. Hahaha.
Seringkali pula suami mengingat-ingat, “Aa dulu ke sini tahun berapa, ya… Bangunannya masih sama, ada tambahan bangunan yang itu, yang ini, yang sana…”


Bukan hanya tempat yang dikenalkan suami ke anak-anak, tapi juga sosio budaya masyarakatnya. Anak-anak diharuskan interaksi langsung, misalnya saat membeli jajanan khas. Mereka dipancing untuk bertanya. Jika anak-anak malas, kami yang harus memancing dengan mengajak bicara penduduk sekitar. Bertanya ini-itu, kadang dengan membeli dagangan mereka.
“Wah, kebayang ya, bikin makanan ini prosesnya lama. Capek, ribet, harga jualnya murah, untungnya sedikit kali, ya…” kata saya ke anak-anak. Ini sebenarnya memancing empati mereka. Biasanya ampuh membuat anak-anak ganti yang wawancara.
Hal-hal yang menyentuh empati seperti itu juga menjadi salah satu cara meredakan ketegangan karena ada yang marah dan ngambek. Hehehe. Seperti saat kami berniat mengunjungi Stasiun Cirebon. Salah satu anak ngambek tidak mau makan, sedangkan yang lain sudah lapar. Kami memutuskan mencari makan dulu di warung makan sekitar stasiun. Kebetulan ada banyak penjual empal gentong di situ
Saya ingin mencicipi empal gentong yang sedari kami memasuki wilayah Cirebon, iklannya sudah menantang sepanjang jalan. Baiklah, kita cicipi makanan khas ini.
“Wah, sepertinya enak sekali! Kenapa namanya empal gentong, bu?” saya menyambut girang semangkok empal gentong yang disajikan ibu penjual.

Anak-anak melirik emaknya yang sudah menyeruput sesendok kuah. Sambil menikmati rasa kuah, saya menebak-nebak bumbunya. “Ada rasa kunyit, ketumbar, serai, jahe…”
“Iya,” sahut ibu penjual sambil tersenyum. Rupanya ia senang karena masakan dagangannya diapresiasi. “Dinamakan empal gentong karena biasanya dimasak dan dijual dalam gentong besar.”
“Boleh tahu bumbunya apa saja, bu?” pancing saya.
“Bawang merah putih, ketumbar, kunyit, jahe, laos, daun salam, serai, kemiri, kayu manis, santan encer,” jawab si ibu.
“Kok nggak kayak pakai santan?” Azka mulai tertarik. “Ini ibu yang masak sendiri? Eh, ya, ibu namanya siapa?”
“Ibu namanya Bu Een,” si ibu masih sabar menjawab. “Yang masak ada beberapa orang. Ini santan encer, jadi seperti nggak ada santannya. Biar gurih aja.”
“Kalau dagingnya, daging apa bu?” Odie yang semula diam tertarik untuk bertanya.
“Daging sapi sama jeroan.”
“Tapi dagingnya sedikit.”
Bu Een mulai ‘bete’ mendengar komentar Odie. Saya ingin tertawa, tapi urung.
“Kan sudah diperhitungkan harganya, A. Kalau mau lebih banyak, Aa nambah. Pesan lagi aja!” saya mencairkan suasana.
“Ya udah, saya nambah lagi, bu! Dagingnya yang banyak!”
Bu Een tersenyum sambil masuk ke dalam warung. Saya mencolek bahu Odie. Anak itu meringis melihat tatapan protes saya.
“Bercanda, Mah. Eh tapi bener, kok, dagingnya sedikit. Gak berasa bumbunya. Kalau kuahnya sih, enak!”
“Nah, nanti yang disampaikan yang enak saja. Biar penjualnya suka. Menyenangkan penjual juga ibadah.”

***
Setelah mengisi perut, kami berjalan ke stasiun. Di depan bangunan utama, kami berhenti. Suami meminta kami menghadap bangunan besar itu dan menunjukkan gaya bangunan khas colonial. Besar dan kokoh.
Apalagi saat memasuki bangunan, pilar-pilar besar seolah menyambut para pengunjung. Saya melihat plafonnya, dan spontan berdecak kagum. Artistik sekali.
“Nih, dengerin. Stasiun ini dibangun 1920, merupakan karya arsitek Belanda Pieter Adriaan Jacobus Moojen,” saya membaca informasi mengenai stasiun ini dari hasil googling di layar ponsel. “Gaya arsitektur bangunan ini disebut art nouveau dengan art deco.”
“Maksudnya?” tanya A Gab datar. Ia cenderung tidak mudah menelan informasi.
“Sebentar…” saya buru-buru googling lagi beberapa saat.
Anak-anak mulai melihat hal lain. Suami sudah berbincang dengan petugas, biasanya ia akan bertanya rute dan jadwal.



“Intinya mungkin begini, art nouveau itu gaya dekorasi yang meliuk-liuk dan alami, sedangkan art deco cenderung geometris, garis dan kaku,” kata saya setelah membaca beberapa informasi. “Nanti kita cek-ricek lagi infonya, ya.”
Kami pun berpindah mengamati bangunan dari luar. Belajar memetakan lokasi, ke mana arah menuju hotel, di mana warung makan tadi, termasuk mencari-cari mushala stasiun tempat suami pernah numpang sholat puluhan tahun lalu. Tuh, kan. Ada aja tempat kenangan buatnya.  Hahaha…


2 komentar:

  1. Jadi kangen Cirebon. Belum ngubek-ngubek soalnya.. hehehe

    BalasHapus
  2. Senang bacanya yang bagian 7 nya Ada nda mbak?tidak ada kata terlambat ya mbak untuk memulai,tulisan Ini 2 Tahun yang lalu ,skr baru nemu hehehe

    BalasHapus