Kamis, 06 Februari 2014

Lelaki Pejalan : Fajar 20

Lelaki itu berangkat
kemeja bekas mata pena dan ransel putus gesper
kusambung talinya erat
di mana rindu tersumbat





Pagi hari adalah saat tepat untuk melangkah. Begitu sering kuambil keputusan itu. Bukan saat gelap tiba.

Aku hanya ingin kesepian tak dihunjam sepi malam. Sebenarnya telah adil dibagi terang dan gelap. Kapan pun perpisahan terjadi, kita tinggal melalui sisa hari.

Tapi matahari lebih ramai kurasa. Jadi kupilih saatnya meninggalkan perempuanku dalam rentangnya. Agar ia tak punya kesempatan bersedih, karena masih banyak ramai yang dapat dilalui.

Saat malam, aku akan berlomba dengan hela napas kala ia muncul di jalan virtual. Dekat. Tapi tak tersentuh. Kubiarkan saja kata-katanya, agar tak terasa jarak merentang.

Hidup kami begitu sederhana. Sesimpel ia menghadapi masalah. Segalanya dihadang keyakinan kuat. Setiap selesai satu, akan datang masalah berikutnya.

Agak berbeda denganku yang seringkali ingin semua serba sempurna, walau hanya untuk sebuah solusi. Tapi hidup tak selalu berjalan seperti rumus yang kita inginkan. Banyak kecewa kurasai, dan sering membuatku berada di labirin sempit. Kehilangan hawa.

Tapi ia, tak melihat labirin itu. Dipandangnya padang rumput maha luas. Diukurnya laju matahari dan hujan mengarah. Ditemukannya jalan setapak penuh ilalang. Jalan yang tak sempurna, tapi menuju tepi padang peradaban.

Ia hanya tertawa jika aku menanyakan rumusnya. Aku tahu, tak akan sederhana jika dikisahkan.

2 komentar:

  1. dalem, Mba...

    "ia hanya tertawa jika aku menanyakan rumusnya. aku tahu, tak akan sederhana jika dikisahkan." --> jlebb

    BalasHapus