Kamis, 08 Januari 2015

BALI SENDIRI 3


Laskar Kuta Bersih
Hari ketiga di Bali. Pagi-pagi udah nongkrong lagi di Kuta. Kerjaanku sama bu Lidia cuma ngelihatin kelakuan orang-orang. Kadang ada sesuatu yang bikin kami tertawa ngikik berdua, lalu diam lagi dan melihat sekitar.

Benar-benar kurang kerjaan. Tapi tugas hari ini sudah diselesaikan kemarin, tinggal malam nanti penutupan. Jadi kami punya waktu seharian sampai maghrib. Aku udah gatal pengin jalan. Tapi lagi mikir tujuan, cara ke sana dan biaya. Kubilang ke Bu Lidia rencana jalan ini, untung beliau mau juga ikutan. Tinggal nanti ajak-ajak peserta lain. Kalau toh pada nggak mau, aku mau jalan aja sendiri.

Sekarang ngabisin pagi dulu di pantai. Ada serombongan cewek yang hobi selfie sedari datang. Mulai foto di pantai, pose loncat, gaya manyun, sampai nyebur ke laut, semua difoto. Kami senyum aja lihat ulah mereka. Mencoba memaklumi karena aku dan bu Lidia punya anak gadis, yang mungkin tingkahnya kayak rombongan cewek itu.

Ada serombongan petugas kebersihan yang membawa sapu dengan ujung mirip garpu, untuk menyaring sampah di pantai, jadi pasirnya nggak ikut terbuang. Mereka inilah yang menjaga Kuta tetap bersih. Bravo!


Selain itu ada keluarga bule yang lari pagi dan punya anak perempuan yang hobi salto. Iyah. Salto beneran. Nggak salto terus, sih. Tapi sesekali dia salto, sementara keluarganya lari-lari kecil. Pengin juga bisa salto gitu. Tapi enggaklah kalau sekarang. Nanti aja salto ke hati patjar.
*weeew*

Lalu ada adegan menarik. Emosional. Mengharukan. Juga pengin bikin huek. Ceritanya gini, ada wanita yang bolak-balik lewat bawa plastik hitam yang biasa buat wadah sampah. Dia kumpulin tuh sampah-sampah di pantai. Tekun bingits. Dari mulai plastik itu isi sedikit sampai hampir penuh. Nggak tahu dia isi apa aja. Sempat terlewat aja tuh wanita dari pandangan kami, entah ke mana dia. Tahu-tahu muncul lagi dengan plastik penuh.

Berjarak sekitar 50 meter dari kami, jadi jelas tingkahnya. Dan kami sama-sama terharu melihat pengabdian wanita itu karena ikut membersihkan Kuta. Oh ya wanita itu bertubuh besar, berambut ikal, usia sekitar 40-50 tahun, memakai rok panjang dan longgar, sweater merah, dan sendirian dari awal kami lihat. Ia tidak berinteraksi dengan siapa pun. Juga tak ada yang menyapa atau melarangnya menyeret karung ke sana-sini.

Jadi kami perhatikan saja dari jauh. Wanita itu menyimpan karungnya dekat pintu masuk. Lalu dia bergegas ke pantai. Kakinya main air. Lalu mendekat ke laut. Semula aku agak takut juga kalau dia terseret arus. Tapi ternyata dia hanya main air. Dari wajahnya tampak gembira. Lalu dia jalan ke tepi pantai. Trus dengan cueknya roknya diangkat dan jongkok di pantai menghadap ke laut.
*oh noooo*

Bagian belakang tubuhnya tampak jelas. Aku lihat ekspresi orang-orang yang ada di belakangnya. Ada yang bergegas pindah, ada yang ketawa sambil nunjuk-nunjuk, ada yang melihat ke arah lain, ada yang menutup mata dengan tangan. Dan waktu aku lihat lagi, dia lagi cebok, bersih-bersih habis buang air besar.
*speechless*

Aku istighfar dalam hati. Ya Allah, di awal pagi Kau telah memberi pelajaran tentang kesadaran ingatan. Mohon ampun saat aku banyak melupakan-Mu. Jadi ingat saat melambat-lambatkan sholat, malas mengaji, sibuk ini-itu hingga tak sempat datang ke kajian agama. Huhuhu… Maafkan aku, Allah… :’(
*merasa seperti sebutir pasir di pantai yang keinjek-injek*

Trenyuh melihat wanita itu. Kami mau menolong nggak tahu caranya, dan mungkin tak mampu. Jadi cuma melihat wanita itu pergi membawa plastik hitamnya. Allah, lindungi dia, setidaknya selamatkan dari mara bahaya karena ketidaknormalannya.

Lalu kami merasa nggak nyaman lagi nongkrong di situ. Bergegas balik ke hotel dan menghubungi beberapa peserta. Kami janjian di ruang makan dengan kondisi siap jalan. Entah akhirnya jalan ke mana. Berhubung emak-emak yang banyak pertimbangan, lewat perundingan usai sarapan, terkumpul 4 orang emak yang akan ikut. Itu sudah termasuk aku. Peserta lain memilih jalan-jalan ke pusat oleh-oleh di Kuta atau di Saraswati. Sementara kami sudah merasa cukup beli oleh-oleh semalam setelah naik taksi pak Wira, korban Bom Bali I.
*ceritanya udah di bagian 2 kemarin lho!*

Di resepsisonis hotel, kami dapat info sewa mobil 5 jam seharga Rp 450.000,- sudah dengan biaya sopir. Biaya itu akan ditanggung kami, 4 orang emak. Tujuan jalan-jalan ini adalah Uluwatu dan Garuda Wisnu Kencana. Pukul tujuh malam kami harus menghadiri penutupan acara, jadi waktu yang tersisa harus digunakan sebaik-baiknya.

Berhubung saling tunggu ini-itu, disepakati berangkat setelah makan siang. Sebenarnya terlalu siang menurutku, tapi ya nggak apa-apa deh, harus solider sama emak yang lain. Sambil nunggu aku bisa nerusin ngetik dan browsing ini-itu.

Sebelum masuk pakai selendang dulu.
Maka pukul dua siang kami berangkat ke Uluwatu. Sejam perjalanan dengan melewati jalan tikus, membuat kami tak melewati macet yang berarti. Menurut sopir, kalau lewat jalan biasa bisa dihadang macet parah. Sementara kami wanti-wanti pukul tujuh malam sudah harus kembali ke hotel. 




Pukul tiga sore kami sampai di Uluwatu. Berhubung ada pura, pengunjung disarankan berpakaian sopan. Kostum bawah harus sampai lutut. Yang di atas lutut dipinjami kain. Semua pengunjung harus mengenakan selendang kecil. Itu semua bisa didapat di pintu masuk. Tiket masuk Rp 15.000,- per orang.

Efek jalan sendiri : narsis :D
Di Uluwatu yang terletak 30 kilometer sebelah barat daya Denpasar ini memiliki beberapa pura. Tujuan kami ke sini adalah melihat Pura Luhur Uluwatu, yang dipercaya orang Hindu sebagai penyangga 9 mata angin. Pura ini terletak di 97 meter di atas permukaan laut dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Ombaknya wow bingits! Di bawah tebingnya ada Pantai Pecatu yang sering digunakan peselancar dalam event internasional.

Selama satu jam kami piknik di Uluwatu, dan parahnya lupa bawa bekal makanan. Buatku yang suka ngemil ini adalah bencana:’( Untung ada salah satu emak yang bawa biskuit, jadi penderitaanku rada terobati. Heuheu.

Habis dari Uluwatu kami ditawari mampir ke Bukit Sari. Semacam agrotourism dengan komoditi utama kopi luwak. Meskipun bukan pecinta kopi, tapi aku setuju mampir ke sana. Bukit Sari terletak di jalan Raya Uluwatu, Pecatu, dan bernuansa kafe kebun.

Begitu masuk akan disambut petugas dengan ramah, diajak tur kecil dalam area kafe dan melihat proses penggilingan kopi. Ada seekor luwak yang dipelihara dalam kandang, kiyut banget J Lalu kami diperlihatkan macam-macam biji kopi dan rempah-rempah lain sebagai bahan minuman.

Untuk berkunjung ke Bukit Sari tidak diharuskan menikmati atau membeli kopi luwak. Begitu pun jika ingin mencicipi kopi luwak, ada paket seharga Rp 50.000,- per cup. Bonusnya adalah 12 macam minuman yang di tata dalam gelas-gelas kecil.

12 jenis minuman.


Jika dilihat dari foto, urutan 12 jenis minuman itu adalah sebagai berikut (dari kiri ke kanan): kulit manggis, teh sereh, teh jahe, teh lemon, teh rosella, teh jahe merah, kopi ginseng, kopi Bali, coklat rempah, kopi vanilla, coklat Bali dan kopi kelapa.

Menuruti saran pegawai kafe, aku menyeruput kopi luwak, lalu merasakan kopi Bali. Keduanya harus tanpa gula lho, ya! Kata salah satu emak, menikmati kopi harus dihirup dulu baunya. Baiklah, aku hirup baunya, lalu slurp! Kopi luwak yang harum itu tercecap di lidah. Lumayan.
Lalu aku meminum sedikit kopi Bali, dan… rasanya ingin muntah. Kayak minum air dari mana, gitu! Menurut pegawai kafe, kalau kata turis-turis, setelah meminum kopi luwak lalu merasakan kopi Bali, seperti minum air kotor. Huek!

Bukan mendiskreditkan, tapi itulah pengalamanku, berdasar informasi petugas. Sebenarnya aku pun tak tahu bagaimana menikmati kopi J Jadi kalau ditambahkan gula mungkin rasanya akan sama saja buatku.

Di depan Bukit Sari, Pecatu, Bali.
Kami lalu mampir ke toko di kafe Bukit Sari. Di sini pengunjung bisa membeli kopi luwak dalam aneka kemasan. Juga coklat Bali yang rasanya legit. Harganya mahal? Relatif. Selain rasa, proses pembuatan kopi luwak memang menuntut waktu yang lebih lama.

Seperti yang dijelaskan petugas, kopi luwak diperoleh dari kotoran luwak yang sebelumnya telah memakan biji kopi. Kotoran ini biasanya menumpuk di tempat tertentu, jadi si luwak itu nggak sembarang buang hajat. Lalu kotoran ini di jemur, nanti akan terpisah antara kotoran dan biji kopi yang dimakan luwak. Jadi yang digiling itu kopinya, bukan kotorannya.
*baru tahu, nggak jijik lagi. Heuheu*

Untuk mendapatkan kualitas yang bagus, Bukit Sari memiliki perkebunan kopi sendiri dan memelihara luwak-luwak. Dalam seminggu biasanya dihasilkan 5 kilogram kopi luwak siap giling. Sedikit ya? Makanya jangan heran kalau harganya juga mahal. Di toko Bukit Sari, saat itu kulihat kemasan kopi luwak 100 gram  dibandrol Rp 250.000,-. Tapi untuk kopi yang hanya 5 Kg dalam seminggu, itu harga yang setara, menurutku.

(masih ada sambungannya, yak!)



4 komentar:

  1. Wah, jadi pengen traveling ke Uluwatu & Bukit Sari juga nih, tapi paling tertarik buat nyicipin kopi luaknya Bukit Sari sih walaupun rasanya seperti minum air kotor. :D
    Di tunggu sambungannya, mba Tias. :)


    Salam hangat,
    Sandra Dewa http://sandradewa.blogspot.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih... kata teman-teman penyuka kopi, kopi luwak emang beda^^

      Hapus