Senin, 25 September 2017

Generasi Jaguar (4) Di Cirebon, Kita!

           Alhamdulillah jalur ke timur lancar jaya. Mungkin karena sudah mulai arus balik lebaran, lebih banyak kendaraan menuju ke barat.
            Dibanding saya, suami lebih bisa mencairkan suasana di perjalanan. Baru keluar dari Jakarta, saaya sudah uring-uringan menghadapi Odie dan Azka yang bertengkar melulu. Wajar sih, gara-gara tempat sempit. Tapi heran juga, biasanya saya bisa sabar menghadapi anak-anak, tapi kenapa mendadak ingin marah.
            Curiga sedang PMS (pre menstruation syndrome), saya beritahu suami. Dia paham kondisi saya. Itulah kenapa sepanjang perjalanan hari itu ia berperan lebih banyak, sebagai sopir, pendongeng, penghibur dan penyulut semangat. Sedangkan saya jadi tim hore buatnya, sambil meringkuk di antara barang bawaan yang belum ditata ulang.

            “Kita akan menginap di mana? Cirebon, oke?” tawar suami. “A Gab, coba lihat ada hotel apa yang enak, nyaman, bersih, murah, dekat alun-alun atau pusat kota.”
            “Yang ada kolam renangnya!” sahut Azka.
            “Yang ada wi-fi gratis!” timpal Odie.
            “Oke… Cari, Aa Gab!” suami menatap saya, “Mamah pengin apa?”
            “Kalau Mamah mah asal ada air panas dan dingin. Trus ada pemanas airnya, disediakan teh, gula, kopi. Kamarnya yang luas, bed-nya banyak…” jawab saya sambil tertawa. Rasanya mustahil ada untuk hotel yang murah di pusat kota.
            Memasuki Cirebon, Gabriel menemukan sebuah hotel dan mulai mengarahkan ayahnya melalui google maps. Kami sibuk melihat sekeliling, tampak banyak sekali tempat menawarkan empal gentong. Jadi kami mengincar salah satu kuliner khas Cirebon ini.
            “Ini ada stasiun, kita menginap dekat sini aja, ya!” tiba-tiba suami memutuskan dengan gembira. Ah, dia memang selalu merasa gembira saat di perjalanan. Hahaha.
            “Masih lurus lagi, Pah,” kata A Gab ketika ayahnya memutuskan membelokkan mobil ke sebuah hotel.
            “Ini aja, dekat stasiun, pasti dekat dengan pusat jajanan. Kalian bisa lihat dan belajar banyak hal nanti!” Suami memarkir mobil di halaman hotel.
            “Ada hantunya nggak, Pah?” Azka menatap bangunan hotel. “Takut, ih!”
            “Nggak ada hantu, ini memang hotel sederhana, jadi bangunannya juga nggak mewah,” saya mencoba membesarkan hati si bungsu.
            “Nggak ada kolam renangnya lho, Dek!” Odie mulai mengggoda adiknya.
            “Papah! Nggak ada kolam renang, nggak mau di sini!” Azka mulai terpancing ngambek. Ia merasa kami tidak menepati janji.
            “Sementara di sini dulu, besok-besok kalau bisa kita cari hotel yang ada kolam renangnya. Sekarang nikmati saja!” Suami mulai kesal juga. Mungkin karena lelah menyetir.
Saya merangkul si bungsu, dan memberi kode ke suami supaya jangan membahas lagi. Kalau sedang ngambek, si bungsu akan jadi keras kepala.
“Mamah turun dulu, pesan kamar. Cari yang family. Papah siap-siap nurunin barang!” kata suami dengan tegas. Tidak ada gunanya berdebat kalau sedang begini. Meskipun saya lebih suka menginap dekat alun-alun, tapi kalau suami sudah memutuskan di situ ya ikut saja.
Saya berjalan ke lobby. Gabriel menyusul. Kami memilih kamar sesuai harga yang kami mampu. Termasuk melihat langsung kondisi kamar. Akhirnya kami cocok dengan family room, sewanya Rp 310.000,-/malam.
Berasa di rumah...

Alhamdulillah semua suka karena kamarnya lega, viewnya langsung ke jalan besar di depan hotel. Ada dua tempat tidur, satu ukuran besar, satunya ukuran kecil. Cukuplah buat kami. Yang tidak kebagian nanti bisa tidur beralas sleeping bag. (Bersambung)

3 komentar: